Senin, 30 Juni 2008

Surat Terakhir buat Guruku







Karya: Abi Nuzulul Muskhaf


Guruku,
Kebersamaan ini telah lama sekali kita rajut bersama
saban pagi kita bertemu dengan saling menebar seutas senyuman.
Inilah pertanda bahwa hati kita sama-sama terbuka
sehingga tak jemu-jemunya engkau mengajarkan ilmu untukku.
Engkau begitu tulus mengasuhku,
meskipun saban hari sering menjumpai sikap liar dan ronta kenakalanku.

Jika malam beranjak menuju keharibaan petang,
di hatiku selalu tersimpan wajah ketulusanmu nan agung
dan pada penghujung malam diam-diam selalu kuucapkan
rasa terima kasih untukmu
bahkan terkadang air mataku menetes satu-satu
demi mengingat kemuliaan namamu.

Wahai Guruku,
Sebentar lagi semuanya cuma akan tersisa jadi kenangan
sebab pertemuan ini telah berada di titik ujung perpisahan.
Aku tak tahu rasa terima kasih yang bagaimana
mesti kuucapkan untukmu?
sebab kata-kata terasa sempit buat mewadahi
samudera luas ketulusanmu
seindah kalimat tak akan bisa menggambarkan
kesungguhan doa-doamu.

Tapi aku berjanji,
selama hidupku tiada pernah sepenggal masa pun akan melupakanmu
sebab jerih payah perjuanganmu berkalang waktu
adalah suara-suara agung yang senantiasa menyelimuti jiwaku
doa dan airmatamu merupakan gelombang semangat
buat menapak hari depanku.

Maafkan aku wahai Guruku,
bila tak bisa membalas semua itu dengan setakaran doa-doamu
jikapun air mata ini kukuras habis buat membalas jasa-jasamu
masihlah tak sepadan dengan cucuran keringat
yang engkau kucurkan buat menemani hari-hari belajarku

Guruku,
Surat terakhir ini sengaja aku tulis buat kado untukmu
sebab hari-hari akan terasa sunyi tanpamu lagi.
Pintaku wahai Guruku,
lepaskanlah aku dengan segenggam kekhusyukan doa
agar kelak aku bisa menapak masa depanku bersama doamu.

Surabaya, Juni 2008

Perbedaan






Oleh : Tohirin El Ashry



Secara kasat mata, apa yang kita lihat sepanjang sejarah manusia adalah paradoks. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang rupawan, ada juga yang buruk rupa. Ada yang kasar, ada pula yang lembut hati. Ada yang hidupnya bahagia, ada juga yang dikepung penderitaan. Begitu seterusnya, sampai tak terhingga.

Realitas faktual benar-benar plural, dari hal-hal yang terkecil hingga hal-hal yang besar. Namun, semua ini bukan berarti Allah, Sang Pencipta, kurang adil terhadap makhluk-Nya. Perbedaan-perbedaan ini harus dilihat dalam kerangka keterpasangan, bukan ketimpangan (QS Alfathir [35]: 11, Thaha [20]: 53).

Kehidupan ini ibarat perlombaan maraton. Bedanya, dalam perlombaan yang satu ini, kita berada pada garis start yang berbeda-beda. Tapi, itu bukannya tidak adil. Sebab, Allah telah membuat garis finish yang sangat memungkinkan untuk dijangkau oleh semua pihak. Garis finish itu adalah takwa.

Semua pelari, bahkan yang berada di garis paling belakang pun, punya peluang yang sama untuk mencapai garis finish. Yang berada di belakang pun sangat mungkin sampai terlebih dahulu dan meraih juara pertama. Semua ini tergantung kesadaran, kemauan, dan kesungguhan masing-masing dalam mencapainya.

Semua yang diciptakan Allah tak satu pun ada yang sia-sia tanpa tujuan (QS Ali Imran [3]: 191). Semua ciptaan Allah punya maksud dan tujuan terbaik untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Sesungguhnya, di balik semua keunikan realitas ini tersimpan hikmah dan rahasia Ilahi yang tidak semuanya dapat kita ketahui.

Yang harus diwaspadai adalah jika perbedaan ini disalahgunakan untuk maksud-maksud jahat. Adanya pihak yang lemah tentu saja membuka peluang bagi yang kuat untuk menindasnya. Adanya pihak yang berkuasa tentu mengundang peluang untuk melakukan pemaksaan terhadap pihak yang berada dalam kekuasaannya.

Kelebihan tertentu yang diberikan pada seseorang bisa saja membuatnya bertindak zalim dan mendiskreditkan orang lain. Jika ini yang terjadi, akal sehat tentunya dapat mengerti bahwa semua itu harus dihentikan. Itu adalah penyikapan yang salah atas perbedaan, yang bertentangan dengan tujuan baik penciptaan.

Pada hakikatnya, tak satu pun makhluk di dunia ini diciptakan Allah dalam kondisi sempurna. Masing-masing dilengkapi dengan kelebihan dan kekurangan. Karena itu, Allah memerintahkan agar satu sama lain tolong-menolong dalam kebaikan (QS Almaidah [3]: 3) dan nasihat-menasihati (QS Alashr [103]: 1-3). Sesungguhnya, perbedaan hanyalah tangga nada agar satu sama lain saling berjalin harmonis untuk menciptakan sebuah keadilan. Wallahu a'lam.

Sedekah





Oleh : Yusuf Burhanudin



Sering kali, kita beranggapan sedekah hanya berguna bagi penerima. Jarang disadari sedekah berfaedah juga bagi pelakunya. Secara rohani, sedekah menjadi sarana penyucian diri dari dosa dan sifat kikir. Allah berfirman, ''Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka. Dengan sedekah, kamu membersihkan dan menyucikan mereka.'' (QS Attaubah [9]: 103).

Secara sosial, sedekah memupuk solidaritas dan pemberdayaan harkat ataupun martabat kaum lemah, fakir, miskin, dan yatim (baik dalam pengertian nasab maupun sosial, yaitu mereka yang tidak punya pekerjaan). Kalangan ekonomi tertinggal banyak terbantu, seperti mempercepat pemerataan kesejahteraan yang mampu menekan angka kriminalitas secara signifikan.

Sedekah akan berfungsi sebagai neraca keadilan yang menjembatani ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Kondisi lingkungan sosial tidak sehat bila orang kaya menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk hiburan, sementara banyak orang miskin tidak makan tiga hari tiga malam. Urwah bin Zubair menyindir, bila orang kaya tidak dermawan, lantas apa bedanya dengan orang miskin?

Belum lagi, adanya fakta seorang ibu tega membunuh anaknya karena lapar. Jika kita melek sedekah dan sadar masih banyak tetangga miskin, semua berita tragis itu tidak perlu terjadi. Makna etimologis sedekah sejajar dengan arti keimananan (ashshidqu), yaitu upaya membenarkan keimanan dengan perbuatan. Termasuk, keimanan palsu jika seseorang mengaku mukmin, tetapi tidak dermawan. Rasulullah bersabda, ''Perilaku dermawan, bukti keimanan.'' (HR Muslim). Sebaliknya, Allah mengecam orang yang menghardik pengemis dan anak yatim sebagai mendustakan agama dan keimanan (QS Alma'un [107]: 1-3).

Ingatlah, ada janji besar bagi mereka yang suka meringankan beban orang lain. Sabda Rasulullah SAW, ''Barang siapa meringankan seorang mukmin dari kesulitan dunia, Allah kelak meringankannya dari kesulitan hari kiamat.'' (HR Muslim).

Kesenjangan tidak akan menganga lebar apabila lahir orang-orang dermawan yang mau menyisihkan harta guna membantu yang berkekurangan. Kedudukan orang dermawan begitu mulia di hadapan Allah. Mereka yang suka bersedekah di kala senang dan susah, mereka itulah orang yang dijanjikan Allah dengan ampunan dan surga seluas hamparan langit dan bumi (QS Alimran [3]: 133-134).

Islam dan Kejujuran

Oleh : Dr Miftah Faridl



Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, terangkan kepadaku, apa yang paling berat dan apa yang paling ringan dalam beragama Islam?"

Nabi bersabda, "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah."

"Sedang yang paling berat adalah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada shalat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur." (HR Ahmad Bazzar).

Kalau seseorang itu beriman, mestinya ia yang jujur. Kalau tidak jujur, berarti tidak beriman. Kalau orang rajin shalat, mestinya juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti sia-sialah shalatnya. Kalau orang sudah berzakat, mestinya ia juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti zakatnya tidak memberi dampak positif bagi dirinya.

Anas RA berkata, "Dalam hampir setiap khutbahnya, Nabi SAW selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau bersabda, 'Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji'."

HR Ahmad Bazzar Thobaroni menyebutkan sahabat Abu Hurairah RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ciri orang munafik itu ada tiga, yaitu bicara dusta, berjanji palsu, dan ia berkhianat jika mendapat amanat (tidak jujur)'." (HR Bukhari).

Abdullah bin Utsman berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Ada empat sikap yang kalau ada pada diri seseorang maka yang bersangkutan adalah munafik tulen, yaitu kalau dapat amanat, ia berkhianat (tidak jujur); kalau berkata, selalu bohong; kalau berjanji, janjinya palsu; kalau berbisnis, licik'." (HR Bukhari Muslim).

Orang jujur itu disayangi Allah. Dan, orang yang tidak jujur dimurkai Allah SWT. Kejujuran menjadi salah satu sifat utama para Nabi, salah satu akhlak penting orang-orang yang saleh.

Kejujuran adalah kunci keberkahan. Kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Dan, apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Kehidupan diwarnai dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan kekecewaan karena sulit mencari manusia yang jujur. Wallahu a'lam bish-shawab.