Sabtu, 05 Juli 2008

Menjemput Surga

Wito namanya. Ia seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Sedih tentu. Tapi, ia dan keluarga bukan tipe manusia yang gampang patah. Ibunya pekerja keras, biasa membantu keluarga tetangga memasak untuk hajatan. Wito kecil itu juga seorang ulet. Ia bekerja keras membantu siapa pun sambil bersekolah. Lulus SMA swasta di kampungnya, ia hijrah ke Jakarta untuk 'ikut orang'. Ia bukan saja andalan keluarga yang diikutinya untuk tugas-tugas domestik, namun juga andalan masjid untuk menjaga kebersihan. Masih sempat pula ia kuliah. Meskipun dengan tertatih-tatih, ia mampu merampungkan kuliahnya. Sebuah bekal untuk memperoleh pekerjaan di sebuah kantor di Solo.



Inilah iklan pencalegan istri saya dalam pemilu 2009 mendatang. Dibantu untuk memilih nomer 5 berangkat dari PKNU


Di kantor itu, ia pekerja andalan. Ia sanggup mengerjakan tugas apa pun tanpa pilih-pilih. Kepala Bagian Umum menjadi tempat yang pas baginya, sampai kemudian perusahaan itu bangkrut. Ia harus kehilangan pekerjaan, saat sudah harus menanggung beban keluarga dengan satu anak. Limbung? Wito bukan seorang yang suka memikirkan nasib. Apalagi, meratapi dan mengasihani diri sendiri sebagaimana jutaan manusia lain. Ia memilih berbuat dan berbuat. Ia tahu persis bahwa perbuatanlah, dalam istilah agama adalah amal, yang akan dinilai di Hari Akhir nanti. Bukan pikiran, apalagi ratapan. Mushala kecil di sekitarnya ia rawat dengan baik. Anak-anak di sekitar itu diajarinya mengaji, tanpa bayaran sama sekali. Untuk penghidupannya sendiri, ia menyewa becak dari tetangganya. Tanpa ragu dan malu sama sekali serta tanpa mempersoalkan bahwa dirinya sarjana, ia menarik becak itu. Sebuah becak yang kemudian menjadi miliknya.

Sang istri semestinya bisa membantunya. Tapi, kondisi fisik istrinya ternyata sangat lemah. Apalagi, saat istrinya hamil. Dengan riang hati, Wito menyampaikan pada istrinya untuk berhati-hati dan menjaga kesehatannya sendiri. Seluruh urusan pekerjaan rumah ia tangani sendiri pula. Seusai jamaah Subuh di mushala, ia akan masak untuk keluarga, mencuci pakaian, serta menyapu rumah dan halaman sekitar. Lalu, ia mandi dan menarik becak hingga sekitar pukul 10 pagi. Saat itulah ia akan membelokkan becaknya ke pasar untuk berbelanja kelapa.

Dengan tangannya sendiri, ia membuat gerobak untuk berjualan es kelapa di dekat rumahnya. Sendiri ia berjualan es kelapa. Dengan harga murah, tempatnya menjadi pilihan para pengendara motor untuk istirahat sejenak, menghapus dahaga. Malam hari, setelah mengajar mengaji, ia sempatkan diri untuk mengikuti kursus pijat terapi. Ia terus perdalam sampai menjadi pemijat mahir. Jam berapa pun diminta untuk memijat, ia akan berangkat tanpa pernah mau menetapkan ongkosnya. Berapa pun yang ia dapatkan, akan ia syukuri.

Menarik becak, jualan es kelapa, hingga menjadi pemijat menjadi ladang rezeki yang terus ditekuninya dengan riang. Hasilnya, di antara banyak teman seangkatannya, kehidupannya relatif berkah. Ia punya rumah dengan tanah hampir seluas 300 meter di tepi salah satu jalan penting di Kota Solo. Ia dapat menyekolahkan anaknya ke sekolah yang bagus, yang oleh kalangan kebanyakan sudah dipandang elite. Lebih dari itu, praktis shalat lima waktunya terjaga untuk selalu berjamaah. Hal yang sekarang semakin sulit dijaga oleh kita yang kadang merasa menjaga agama sekalipun.

Di tengah jutaan para sarjana yang lebih banyak hilir mudik mencari pekerjaan; di tengah jutaan pegawai negeri ataupun swasta yang kegembiraan utamanya memperoleh komisi; di tengah banyak pebisnis besar yang sebenarnya cuma calo; di tengah banyak orang-orang terhormat yang seolah bekerja untuk rakyat, tapi kesibukan utamanya mencari jalan untuk 'mencuri' uang rakyat; Wito sungguh penjemput surga yang efektif. Ia seorang yang riang untuk selalu berbuat dan berbuat.

Hanya sesekali ia tampak sedih, dengan alasan yang istimewa. Di antaranya, setelah pemerintah menaikkan harga BBM secara mendadak. Tanpa bertahap. Setelah kenaikan harga BBM itu, ia sebagaimana ratusan ribu pedagang kecil lainnya harus berhenti berdagang. Harga jual es-nya tak lagi cukup untuk membeli kelapa di pasar. Ketika ia mencoba menaikkan sedikit harga itu, orang-orang tak lagi mampu membeli. Maka, ia pun menutup usaha. "Kasihan, pelanggan saya tak kuat lagi membeli," katanya. Ia, sekali lagi, lebih mengasihani orang lain ketimbang diri sendiri.

Adakah di antara kita yang lebih dekat ke jalan surga ketimbang Wito? Adakah jalan untuk menjadikan seluruh bangsa ini menjadi pribadi-pribadi penjemput surga? Yakni, pribadi yang tak punya rasa sakit hati, kecewa, apalagi putus atas. Juga pribadi yang tidak malas, namun justru antusias untuk terus berbuat dan berbuat.

Jumat, 04 Juli 2008
Zaim Uchrowi

Selasa, 01 Juli 2008

Sang Pemenang

Saat berada di gua sempit di sebuah bukit, ia sepertinya tak berdaya. Ia bukan hanya tak leluasa ke manapun menyampaikan kebenaran yang digenggamnya. Ia bahkan harus mengendap pergi menghindari sejumlah pemuda yang mengepung rumahnya untuk membunuhnya. Ia harus bersembunyi tanpa sipapa pun, kecuali seorang sahabat, mendampingnya.

Tak ada yang tahu di mana ia berada. Jejak kakinya, dan juga jejak kaki perempuan kecil yang selalu mengiriminya makanan selama dalam persembunyian, harus dihapuskan dengan jejak-jejak kambing yang digembalakan di sana. Ia benar-benar harus pergi meninggalkan tanah yang melahirkan, membesarkan, bahkan sempat memberinya kemuliaan di hadapan masyarakatnya. Ia tampak seperti seorang kalah.

Tapi, tentu bukan kekalahan yang dipetiknya. Tahun itu, sekitar tahun 622 Masehi, memang tahun yang sangat berat baginya. Namun, sejarah mencatatnya berbeda. Tahun itu justru menjadi titik balik kehidupannya. Titik balik dari kehidupan yang selama 13 tahun teraniaya menjadi kehidupan yang benar-benar mulia, bahkan di hadapan manusia.

Hanya berselang sekitar enam tahun dari masa-masa sulit itu, ia telah kembali ke kota asalnya dan menundukkan seluruh warga yang memusuhi dan bahkan mengharap kematiannya. Ia membuat seluruh warga hanya bisa pasrah menanti hukuman apa pun buat menebus kesalahannya terdahulu. Tapi, ia justru membalas kejahatan orang-orang itu dengan memberinya kebebasan, karena ia, Muhammad SAW.

Kisah hijrah bukan hanya menjadi salah satu penggalan paling dramatis dalam kisah Sang Nabi. Kisah itu juga tak berhenti menyebarkan pelajaran berharga bagi setiap manusia sepanjang masa: Hijrahlah, kau akan menjadi pemenang! Hijrahlah, kau akan sukses! Pelajaran itu sudah dibuktikan oleh umat manusia dari masa ke masa, dari satu benua ke benua lainnya.

Orang-orang hijrah menuju Tanah Harapan Amerika di abad ke-17 dan ke-18 umumnya adalah orang-orang yang dianggap kalah di Inggris atau di daratan Eropa. Sejarah menunjukkan bahwa mereka kemudian lebih berjaya ketimbang masyarakat yang ditinggalkannya. Mereka kemudian menjadi penguasa dunia saat ini.

Di Tanah Air seperti di Lampung, banyak pribadi sukses di masyarakat adalah mereka yang dulu adalah para transmigran. Transmigran pada umumnya adalah mereka yang terbilang miskin serta 'kalah' di daerah asalnya. Namun, mereka menjelma menjadi orang-orang yang sukses serta kuat di daerah baru yang dipijaknya. Mereka banyak yang lebih sukses dibanding warga setempat yang sudah turun-temurun menghuni wilayah itu.

Potret serupa juga terlihat di kebanyakan kota-kota besar di Indonesia. Mereka yang terbilang paling sukses umumnya adalah pendatang. Orang-orang yang secara nyata pernah mempertaruhkan hidup dengan melepas ketergantungannya pada siapa pun, termasuk pada kerabat, untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Hijrah hampir selalu mengantarkan kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Sedangkan kegagalan hidup sering identik dengan ketidakberanian orang tersebut untuk hijrah.

Pesan besar seperti itu sebenarnya selalu berdering setiap tahun untuk mengingatkan semua tentang resep menjadi sukses. Namun, dering pesan tersebut sering tak terdengar tertutup rutinitas guliran waktu Qomariah yang memang makin terabaikan oleh peradaban. Padahal, ketika kita mau mendengarkan dering itu, lalu menyambutnya dengan berhijrah, akan luar biasa kehidupan yang dapat diperoleh.

Lalu mengapa kita enggan hijrah, baik hijrah pikiran, hijrah perilaku, maupun hijrah fisik hanya karena terus dibuai oleh 'zona nyaman' kita masing-masing. Mengapa kita tak mencoba hijrah yang kecil saja di tahun 1429 Hijriah ini agar dapat menjadi sang pemenang di hari depan? (Zaim Uchrowi--Republika )

Jumat, 11 Januari 2008

2008

Suara-suara itu membangunkan saya. Suiiiiiing ... tret-tret-tret-tret-tret ... trak-trak-trak-trak-trak ... dorrr ... toetttt-toettt ...! Sesaat saya berada di zona perbatasan. Perbatasan antara alam tidur dan terjaga. Namun, tidak lama. Segera saya mampu meraih jam kecil di samping tepat tidur. Benar, ini pukul 00.00. Saat pergantian tahun. Pantas begitu meriah. Tapi, tak sampai semenit kemudian mata telah kembali terpejam dengan tangan menggenggam tangan istri. Kemeriahan terus terdengar sampai lelap menenggelamkannya.
Saya terbiasa tidur relatif sore untuk ukuran orang sekarang. Itu membuat segar saat dini hari melangkah ke masjid buat shalat Subuh. Pernah saya mendengar ceramah bahwa shalat Subuh berjamaah di masjid begitu berharga. Orang-orang bilang enerji Subuh sungguh luar biasa. Sejak itu saya membiasakan diri Subuh di masjid. Sebuah pilihan yang mendorong tidur lebih sore. Kebiasaan itu berlangsung hampir saban hari. Bahkan, di detik-detik peralihan tahun sekalipun.
Saya memang tak sempat melihat indahnya pesta kembang api. Tapi, itu bukan berarti tak merasakan antusiasme menyambut tahun baru. Rasa antusias pada diri bahkan telah terasa beberapa hari sebelum tahun baru tiba. Yakni sejak berada di Makkah, saat mendampingi Pak Menteri Maftuh Basyuni yang langsung memimpin rombongan haji kita. Banyak sisi penyelenggaraan haji yang masih dapat ditingkatkan lagi kualitasnya di waktu mendatang. Namun, secara umum, pelaksanaan haji tahun ini baik. Bahkan, terbaik dibanding sebelumnya. Pencapaian itu meyakinkan saya bahwa kita, bangsa ini, akan dapat menjalani 2008 secara baik.
Masyarakat tampak antusias menyambut tahun baru. Sikap antusias itu mempertebal optimisme bahwa kita akan mendapatkan keadaan lebih baik pada 2008 ini. Ratusan ribu, mungkin malah jutaan, orang dengan sungguh-sungguh menanti detik-detik pergantian tahun. Tak sedikit yang bukan cuma bersenang-senang. Mereka juga menetapkan 'resolusi' bagi dirinya sendiri. Resolusi untuk mendapatkan kehidupan lebih baik tentu. Tidak sedikit pula yang menyambutnya dengan berdzikir bersama. Juga dengan memanjatkan doa tentu.
Resolusi serta doa adalah refleksi dari harapan dan keinginan. Yakni, harapan dan keinginan agar hari esok lebih baik dari hari kemarin. Harapan dan keinginan itulah yang menggerakkan kita untuk melangkah maju. Dalam istilah agama, keinginan yang bersungguh-sungguh adalah azam. Siapa memiliki harapan dan azam kuat, ia akan maju. Ia akan tertuntun pada kesuksesan dan kebahagiaan. Bangsa yang memiliki harapan dan azam kuat akan menjadi bangsa maju. Itulah hukum alam. Itu pulalah hukum Tuhan (sunnatullah) yang tak terbantahkan kebenarannya.
Ketenangan hari-hari peralihan tahun ini memang sempat terkoyak oleh beberapa tragedi. Di belahan lain dunia, tepatnya di Rawalpindi, Pakistan, peluru bukan hanya merobek tubuh Benazir Bhutto. Peluru itu juga merobek harapan warga setempat untuk mendapat kehidupan lebih baik. Di sini, di sepanjang lintasan Bengawan Solo, ratusan ribu kalaupun bukan jutaan jiwa harus terempas banjir. Beberapa tragedi itu dapat menggoyahkan harapan kita semua untuk mendapat hari-hari lebih baik di 2008 ini.
Tetapi tidak. Tragedi dan bencana tidaklah boleh menggoyahkan harapan dan keyakinan. Keduanya justru dapat menjadi faktor yang memperteguh langkah menjadi lebih baik. Bukankah kedamaian dan kemakmuran Aceh sekarang terjadi setelah tragedi Tsunami? Bukankah Jepang yang tak henti digoyang gempa dan bahkan diluluhlantakkan Amerika di Perang Dunia II adalah Jepang yang perkasa. Para keluarga korban banjir maupun longsor memang tidak melalui pergantian tahun dengan pesta kembang api dan terompet sebagaimana saya yang tidur lelap. Tapi bencana, insya Allah, justru akan mengantarkan mereka menjadi pribadi yang kuat. Pribadi yang lebih sukses lagi di 2008 ini. (Zaim Uchrowi )


Jumat, 04 Januari 2008

Nasib Bayi Kita

Tahukah kita bahwa sekitar 10 juta bayi meninggal saban tahun? Tahukah bahwa di Asia Tenggara kita adalah penyumbang kematian terbesar itu? Bukan hanya karena jumlah penduduknya paling banyak. Juga karena laju kematian bayi termasuk tertinggi di antara negara-negara tetangga ini. Jika ingin tahu lebih lanjut, tanyakan pada Margareth Chan. Direktur jenderal badan kesehatan dunia WHO itu akan dapat memperjelas apa yang terjadi.

Sebenarnya, persoalan ini sangat jelas. Yang paling banyak membunuh bayi adalah infeksi saluran pencernaan. Penyebabnya apalagi kalau bukan terkait dengan 'makanan' yang masuk ke dalam saluran itu. Hal yang mudah sekali diatasi. Ajaran agama, kearifan tradisi, hingga ilmu kesehatan mutakhir memberi petunjuk yang sama. Berikan pada bayi HANYA ASI. Air susu ibu.

Insya Allah, bayi bukan hanya selamat. Bayi juga akan tumbuh menjadi manusia yang sehat lahir dan batin. ASI melindungi bayi dari infeksi pencernaan dan juga saluran pernapasan, pembunuh nomor duanya. Di dalam agama, kewajiban memberi ASI pada bayi sejalan dengan kewajiban shalat. Sama-sama perintah Allah SWT, sama-sama disebut langsung dalam Alquran. Keluarga para sahabat Rasul tidak memberikan susu apa pun pada bayinya selain ASI.

Sayangnya, ajaran agama telah sedemikian tereduksi. Yang dianggap sebagai nilai agama sering sebatas yang tercakup oleh ilmu fikih. ASI tentu tak disebut oleh kitab-kitab fikih. Padahal, fikih memang hanya membahas sebuah sisi agama. Yakni sisi hukum, dan bukan sisi lainnya. Maka, tak jarang kita yang merasa menjadi pemeluk teguh agama pun mengabaikan ASI. Apalagi bila kita tak menganggap penting agama. Dominasi pendekatan fikih di dalam agama, serupa dengan dominasi pendekatan medis di kesehatan. Dominasi beginilah yang menutupi keutamaan ASI.

Keutamaan ASI juga ditekankan oleh kearifan tradisi. Sejak bermula kehidupan manusia, proses melahirkan dipandang sebagai proses alami. Meskipun sangat menyakitkan, melahirkan bukan 'penyakit'. Tak perlu tindakan medis apa pun, selain sekadar berjaga-jaga. Maka, ibu akan sabar menunggu berjam-jam setelah bayi lahir buat mendapatkan makanan terbaik bagi sang buah hati: Kolustrum berserta ASI. Bahkan, bila harus menunggu sampai lebih dari 24 jam. Para ibu tak akan pernah mencari-cari makanan lain bagi bayinya. Apalagi, dulu, tak ada tenaga medis yang disuap industri untuk mendesak para ibu yang masih lemah, fisik maupun psikis, agar memberi susu formula pada bayi.

Namun, kearifan tradisi itu dipenggal begitu saja oleh dunia modern. ASI dianggap 'kuno' dan 'kampungan'. Keluarga berpenghasilan pas-pasan pun banyak yang memaksakan diri membeli susu formula buat bayinya. Fenomena yang memicu pemiskinan luar biasa buat mereka. Kita yang lebih berada juga tak merasa bersalah memberi susu formula pada bayi. Kita mengira memberi kebaikan. Padahal sebaliknya. Ilmu kesehatan mutakhir meyakinkan bahwa ASI satu-satunya makanan bayi yang sempurna. Maka, sang bayilah yang harus menanggung akibatnya. Secara fisik ia lebih rentan pada penyakit. Pertumbuhan kejiwaannya pun tidak sempurna. Seorang guru besar psikologi UGM menyebut bahwa setiap anak yang tak memperoleh ASI selama dua tahun saat bayi, perlu terapi. Terapi, itulah yang akan meluruskan ketimpangan pertumbuhan kejiwaan sang anak.

Kini bayi bukan hanya dibikin rentan secara fisik dan psikis karena dijauhkan dari ASI. Bayi juga menjadi tak terlindungi dari infeksi bakteri yang mengontaminasi susu formula. Sebuah hasil penelitian yang dilansir IPB menyebutkan bahwa sekitar 22,73 persen susu formula yang beredar dari bulan April-Juni 2006 tercemar Enterobacter sakazakii. Kendati sudah lampau, temuan ini mengingatkan semua: betapa rawan nasib bayi kita. Betapa lemah perlindungan buat mereka. Bayi tentu belum mampu melindungi dirinya sendiri.

Mencari-cari yang mungkin salah dari penelitian itu bukanlah langkah tepat. Yang lebih perlu, dan terpenting, di urusan ini adalah bagaimana melindungi bayi. Bila perlu dengan meluruskan kembali cara pandang diri soal agama dan kesehatan. Agama bukan semata-mata fikih, dan kesehatan bukan semata medis. Dengan pelurusan itu akan terlihat betapa penting posisi ASI bagi bayi. Memberi ASI pada bayi adalah bagian mendasar dari agama dan kesehatan. Maka mari selamatkan nasib bayi kita dengan memberi bayi hanya ASI. Mari kembalikan bayi pada zat hidup satu-satunya makanan sempurnanya. Itu yang akan menjaga masa-masa emas pertumbuhan fisik, otak, serta jiwa bayi-bayi kita. Itu yang akan menumbuhkan mereka menjadi generasi emas.

Ibu Negara, Ibu Ani Yudhoyono, sangat meyakini itu. Keyakinan yang mencuatkan tekadnya untuk terus mempromosikan ASI. Semestinya keyakinan dan tekad serupa dimiliki oleh semua pihak. Oleh otoritas kesehatan, juga oleh masyarakat luas. Jika itu terjadi, kita akan segera menuai hasilnya. Bangsa ini akan dapat segera memasuki era emasnya. (Zaim Uchrowi )


Kamis, 28 Februari 2008

Seabad Takdir

Dalam hujan serta kabut di tengah siang, saya sempat takziah ke makam Takdir. Sutan Takdir Alisjahbana lengkapnya. Saya dulu, sebagaimana kebanyakan kita, mengenalnya cuma sebagai pengarang buku Layar Terkembang. Sebuah karya yang terus akan disebut bersama roman klasik Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Tak lebih dari itu yang kita tahu.

Beberapa orang mengaitkan Takdir dengan kontroversi. Ia dikaitkan dengan 'Polemik Kebudayaan'. Sebuah polemik yang melibatkan para tokoh nasional di tahun 1935-36. Saat itu, Takdir dianggap sebagai budayawan pro-Barat. Ia mengajak seluruh bangsa ini mengadopsi budaya Barat. Barat sudah terbukti maju. Barat telah memimpin dan menguasai peradaban. Maka, kalau mau maju, adopsilah budaya Barat. Itu yang disebutnya solusi buat bangsa. Sebuah bangsa yang telah berabad-abad terjajah ini.

Ajakan Takdir itu mengundang reaksi. Para tokoh pergerakan nasional menanggapi keras. Dr Soetomo, misalnya. Ia menunjukkan halus dan utama budaya Timur. Mengapa harus budaya Barat? Perdebatan berkepanjangan hingga, barangkali, menjadi polemik terkeras dalam sejarah modern kebangsaan Indonesia. Dari polemik itu, Takdir kian terposisikan sebagai 'agen' budaya Barat. Pernikahan Takdir dengan perempuan Jerman, setelah istrinya terdahulu meninggal, kian mempertebal prasangka publik padanya.

Namun, ada yang terlewat dari bahasan soal Takdir itu. Tak banyak yang membahas apa yang melatari pandangan Takdir. Saya juga tak pernah tahu itu, sampai kemudian saya memimpin Balai Pustaka. Sebuah tempat di mana Takdir selalu tersenyum pada saya lewat potret. Dari Polemik Kebudayaan yang dibukukan Balai Pustaka, saya tahu betapa risau Takdir. Ia melihat bangsa ini begitu statis. Begitu kental dengan mental terjajah. Begitu pasrah bangsa pada realitas alam. Itulah yang menjelaskan mengapa kita menjadi bangsa miskin dan kalah.

Saya tersentak dengan pengungkapan Takdir. Realitas masyarakat sekarang tak banyak berbeda dengan masyarakat yang dilihatnya di tahun 1930-an. Yakni masyarakat yang statis, lemah, miskin, hanya bisa pasrah terhadap bencana alam, gemar tangan di bawah, serta mudah diperalat baik oleh kekuatan politik maupun kapital. Mentalitas kita jauh dari mentalitas khalifatullah fil ard yang dituntunkan agama. Lebih setengah abad merdeka, belum cukup signifikan mengubah kita.

Kenyataan ini memperjelas siapa sebenarnya Takdir, dan apa yang dimauinya. Sejak itu saya lebih suka memggunakan tafsir sendiri tentang Takdir. Yakni, bahwa sebenarnya bukan 'Barat' atau 'Timur' yang tengah diperjuangkan Takdir. Ia hanya melecut bangsa ini agar menjadi bangsa dinamis. Bukan bangsa statis. Ia ingin bangsa ini mengendalikan, dan bukan dikendalikan, alam. Ia ingin membebaskan banyak pemimpin publik sampai sekarang.

Takdir juga diidentikkan sebagai seorang sekuler. Tetapi, Takdirlah yang menunjuk dengan jelas apa penyakit pemahaman agama (Islam) yang berkembang di Indonesia. Islam di sini, menurutnya, sangat diwarnai budaya India lama. Budaya yang menghinakan sekelompok manusia, dan memuliakan kelompok manusia lainnya. Itu yang menjelaskan mengapa banyak umat nikmat menjadi 'kawulo' dan gemar mencium tangan orang. Tak sedikit pula para pemegang atribut agama yang suka dicium tangannya.

Padahal, itu bertolak belakang dengan prinsip Islam sebenarnya. Takdir pun menyeru kaum agama: mengapa kalian tidak kembali ke nilai asli Islam yang diajarkan Nabi? Islam yang mengajarkan umatnya menjadi manusia merdeka, rasional, dan menghargai sesama secara setara. Bukanlah Islam nilai yang mengajarkan untuk pasrah pada nasib.

Masih banyak lagi peran Takdir buat membangun Indonesia yang sekarang kita warisi. Dalam membangun bahasa Indonesia hingga layak menjadi bahasa resmi negara salah satunya. Tapi, publik memang cenderung untuk hanya kagum pada mereka yang gampang ditepuktangani. Maka, Takdir pun tak banyak diapresiasi hingga ia terbaring damai di pekarangannya yang asri, di Tugu, Puncak, itu. Saya bersyukur dapat menziarahi seabad setelah Takdir, dilahirkan. Ziarah yang memperkuat tekad untuk menerbitkan kembali buku Polemik Kebudayaan pada Kebangkitan Nasional yang tahun ini juga genap seabad.
(Zaim Uchrowi )

Jumat, 15 Februari 2008

Belajar dari Pak Harto

Pernah saya kecewa pada diri sendiri soal Pak Harto. Waktu itu tahun 1991, saat di Tanah Suci. Waktu yang sama dengan ketika Pak Harto naik haji. Sejak tiba di Makkah, sebuah gagasan terus-menerus terpikirkan. "Saya harus bertemu Pak Harto," kata batin ini. Kata-kata untuk Pak Harto pun tersusun jelas. Tinggal mengemukakannya bila kesempatan itu tiba.

"Alhamdulillah, Bapak sekarang berkesempatan menunaikan ibadah haji. Agar haji Bapak lebih sempurna, saya mohon Bapak menghentikan pembangunan makam Astana Giribangun. Akan lebih utama bila kelak Bapak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Nisannya sederhana, sama dengan nisan lainnya. Rumput tumbuh di kiri-kanannya. Makam Bapak juga akan disinari matahari sepanjang hari."

Beberapa kali saya mengulang kalimat itu. Buat meyakinkan diri bahwa pesan itulah yang akan tersampaikan. Kadang memang muncul keraguan. Mungkinkah mengatakan itu pada Pak Harto. Orang-orang penting pun hanya mampu terdiam dan mengangguk-angguk di hadapan negarawan besar ini. Apalagi saya. Tapi, bukankah keraguan tak boleh dibiarkan berlama-lama. Ini di tanah Suci. Saat beribadah haji pula. Semua orang menjadi sederajad. Maka, saya yakin mampu mengatakan itu langsung pada Pak Harto. Saya percaya Allah akan menolong. Bersungguh-sungguh saya pun berdoa: "Pertemukan hamba dengan Pak Harto ya Allah."

Doa itu ternyata makbul. Pak Harto masuk ke tenda tempat saya wukuf di Arafah. Setelah bertegur sapa dengan beberapa orang, Pak Harto bahkan melangkah ke arah saya. Saya berdiri mencegat di hadapan Pak Harto. Cuma semeter lagi jaraknya. Saya tatap wajah Pak Harto sebelum mengatakan kata-kata itu. Namun, ya Allah, wajah Pak Harto begitu berwibawa. Senyum lembutnya itu benar-benar mengunci rapat bibir saya.

Tak sedikit pun kata yang terucapkan. Cuma bersalaman, meminggirkan badan, dan membiarkan Pak Harto lewat begitu saja yang dapat saya lakukan. Baru belakangan saya menyadari keliru. Doa saya hanya doa minta dipertemukan pada Pak Harto. Bukan agar mampu menyampaikan pesan itu.

Toh saya belajar pula dari pertemuan itu. Setidaknya belajar untuk tahu betapa penting berwibawa. Beberapa tahun kemudian, yang saya pelajari lebih dari itu. Victor Limlingan mengatakan 'belajarlah dari Soeharto'. Ia dosen saya di Asian Institute of Management, Filipina. Ia mengajarkan strategi pembangunan. Menurutnya, strategi pembangunan Soeharto sangat bagus.

Dagu para mahasiswanya terdongak. "Apa bagusnya Soeharto?" Mereka memandang Soeharto sebagai wajah rezim otoriter. Serupa dengan Marcos dulu di Filipina. Tapi, Limlingan punya alasan jelas. Strategi baik harus sangat sederhana. Karena sangat sederhana, orang idiot pun mampu menjalankannya. Tak perlu menunggu kehadiran orang hebat. Strategi pembangunan Indonesia disebutnya seperti itu. "Maaf, ya Zaim. Kualitas pegawai negeri Indonesia pas-pasan. Tapi, pembangunannya ternyata berjalan baik. Itu berarti strategi pembangunan Soeharto bagus."

Saya setuju itu. Barangkali dalam pembangunan Pak Harto cuma kalah efektif dari Park Chung-hee dan Lee Teng-hui. Sebuah kekalahan yang dapat dimaklumi. Korea Selatan dan Taiwan jauh lebih sederhana dan kecil dibanding negeri ini. Saya mulai menyimak strategi pembangunan Pak Harto. Soal pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga kependudukan. Dengan cara sederhana, ia mampu menyejahterakan rakyat. Saya mempelajari itu. Termasuk dari Pak Haryono Suyono dan Pak Harmoko. Dua pembantu Pak Harto yang efektif justru karena pendekatan sederhananya.

"Saya ingin menulis buku tentang Pak Harto," kata saya, tiga tahun silam. Itu saya nyatakan pada Pak Maftuh Basyuni. Sosok yang cukup lama menjadi pembantu langsung Pak Harto. Bukan buku tentang pribadi. Namun, buku tentang manajemen pembangunan Pak Harto. Bukan buku untuk mencaci atau memuji. Tapi, buku yang membuat diri saya sendiri, juga bagi semua yang peduli pada masa depan bangsa ini, bisa belajar bersama:

Bagaimana sebaiknya memajukan bangsa ini? Apa langkah besar Pak Harto yang perlu diteruskan lagi? Apa yang masih harus direvisi? Ternyata Pak Harto berpulang sebelum buku itu tertuliskan. Semoga ilmu pembangunannya masih dapat tergali meski jasadnya telah terkubur di Astana Giribangun (bukan di Taman Makam Pahlawan yang dulu saya harapkan). Jika ilmu itu tergali, bangsa ini akan berhenti mencaci dan memuji. Namun, bangsa ini akan belajar bagaimana dapat menjadi lebih baik esok hari. (Zaim Uchrowi )

Jumat, 08 Februari 2008

Republik Nusantara

Apa yang akan Anda lakukan kalau menjadi presiden negeri ini?
Ada hal sederhana yang tampaknya perlu dilakukan. Yakni, mengajak seluruh bangsa ini bersepakat. Nama negara ini perlu diganti. Nama Indonesia terasa sudah kurang segar. Kurang mampu memberi gairah, apalagi menggetarkan hati warganya. Nama Indonesia terasa lebih memenuhi keperluan legal formal. Bukan keperluan untuk dapat memberi nilai maknawi yang subtansial. Misalnya mendorong etos warganya.

Tidak setuju nama Indonesia diganti? Boleh-boleh saja. Ini bangsa dan negara demokrasi. Tapi dari berbagai percakapan informal dapat disimpulkan, umumnya kita menyetujui gagasan ini. Banyak alasan yang mendasarinya. Bukan sekadar persoalan suka atau tidak. Sebab nama harus memberi spirit. Nama perlu berjiwa. Spirit atau jiwa itulah yang dapat melentingkan penyandangnya untuk maju. Shakespeare bisa saja mengatakan ‘’apalah arti sebuah nama.’’ Namun, untuk konteks kita sekarang, nama yang berspirit teramat penting. Tanpa spirit, tak akan ada kemajuan yang dapat diraih.

Kenyataan di masyarakat memperkuat kebutuhan itu. Mari kita tengok kasus Lapindo. Hingga kini urusan ini belum selesai. Belum pula ada skenario jelas bagaimana menyelesaikannya. Nasib para korbannya juga masih banyak terbengkalai. Tengok pula nasib petani kita. ‘’Saya tak tahu lagi harus berbuat apa,’’ ujar Suprapto, seorang advokat petani. ‘’Saya akan bakar saja gabah di DPR dan istana.’’ Sebuah ungkapan kesal yang masuk akal. Sampai sekarang kita juga tak punyak skenario jelas buat mengangkat nasib petani. Sama tak jelasnya dengan alternatif solusi bagi berbagai krisis lainnya.

Banjir di berbagai daerah masih akan berulang dan berulang. Krisis pangan, seperti daging, kedelai, atau minyak goreng baru-baru ini, berpotensi lebih sering terjadi. Belum lagi krisis energi. Harga BBM sudah jelas naik. Listrik mulai padam. Minyak tanah susah. Listrik tenaga nuklir yang seharusnya sudah terwujud. Keuangan negara ikut tergoyang. Hingga muncul gagasan yang tidak lazim: Menyewakan hutan lindung buat ditambang. Apa solusi dari semua persoalan itu? Kita cenderung hanya akan menggelengkan kepala. Kita, bangsa ini, tengah sakit.

Tentu kita tetap harus tersenyum, bersyukur, dan ikhlas. Itu modal utama buat bangkit. Namun sakit juga harus diobati. Sedangkan obat, kata Ibnu Sina, bukan saja yang berbentuk material dengan mekanisme yang dapat dijelaskan secara rasional. Obat yang menyembuhkan juga harus mencakup jiwa. Harus ada intervensi jiwa buat melahirkan ‘’formula kesembuhan’’. Intervensi jiwa atau spirit begitu penting buat kesembuhan. Apalagi di saat obat material yang rasional belum dapat terlihat secara jelas. Seperti yang kita hadapi sekarang ini.

Pada beberapa masyarakat tradisional ada kearifan. Yakni saat seorang anak sakit berkepanjangan. Berbagai macam obat tak mampu mengatasinya. Maka orang tuanya akan mengganti nama sang anak. Tradisi itu seperti tak bernalar. Mana mungkin sakit diatasi dengan ganti nama. Tapi, umumnya terbukti anak akan menjadi lebih sehat. Ada suasana baru, ada spirit baru. Itulah yang menyehatkan. Prinsip itu serupa dengan pendekatan komunikasi pemasaran. Ada ‘’siklus hidup’’ produk. Sebelum mencapai tahap ‘’dewasa’’ yang kemudian menurun, produk perlu disegarkan. Banyak cara buat menyegarkan. Produk Amway, misalnya, disegarkan dengan bendera baru Network-21. Hal serupa terjadi pada ranah publik. Kota Bombai, misalnya, sekarang ganti nama menjadi Mumbai.

Lalu mengapa ragu melakukan itu pada Indonesia? Nama Indonesia bukan sekadar tak berakar, namun jujga tak berjiwa. Apalagi sudah sangat banyak yang terluka oleh nama Indonesia. Politik masa lalu yang menjadi penyebabnya. Kita juga punya pilihan nama yang lebih baik: Nusantara. Sebuah nama yang berakar panjang pada tanah dan manusia di kepulauan khatulistiwa ini. Bernard Vlekke, penulis sejarah yang sangat lengkap tentang bangsa kita, pun memberi judul bukunya Nusantara. Bukan Indonesia. Dengan menjadi Republik Nusantara, tak aka nada lagi tetangga yang mengejek kita dengan sebutan ‘’orangorang Indon’’. Kita juga akan lebih antusias menyanyikan lagu kebangsaan ‘’Nusantara Raya merdeka-merdeka!’’ Antusiasme inilah yang akan membuka
langkah- langkah baru buat bangkit. (Zaim Uchrowi )

Jumat, 14 Maret 2008

FPI

"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat (pelajaran) yang baik..." (QS 16:125). Sehabis Shalat Subuh itu, seorang jamaah maju untuk menyampaikan 'kultum'-nya. Setelah mengucap salam, ia termangu sejenak. "Saya bingung, bagaimana kita umat Islam harus menyikapi," ucapnya. Ia menunjuk peristiwa Ahad lalu saat massa Laskar Pembela Islam, organisasi sayap Front Pembela Islam (FPI), menyerang kelompok Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Ia tahu, AKKBB tengah memperjuangkan Ahmadiyah, kelompok yang ajarannya menyimpang dari ajaran dasar Islam.

Sikap penyaji 'kultum' itu sangat jelas: Ahmadiyah bukan Islam. Dari sudut pandang keyakinan dasar Islam, ajaran Ahmadiyah merupakan penodaan. Sedangkan, penodaan tidak dapat dibiarkan. Tidak ada kebebasan yang dapat ditoleransi untuk melakukan penodaan. Karena itu, menurutnya, Ahmadiyah harus dilarang. Para pemeluknya harus dibina untuk dapat menganut Islam secara baik. Lain soal bila mereka menyatakan bukan Islam dan mengaku sebagai pemeluk agama Ahmadiyah.

Walaupun setuju pelarangan Ahmadiyah, pembicara itu mengaku terguncang melihat tayangan TV itu. Sebuah tayangan yang menunjukkan massa FPI memukuli para pendukung AKKBB yang membela Ahmadiyah. "Bukan begitu akhlak Islam," ungkapnya. Kekerasaan semacam itu ia yakini justru menodai kesucian dan keluhuran ajaran Islam. Sebuah agama yang secara bahasa pun berarti 'selamat' atau 'damai'.

Tampaknya, pikiran pembicara itu berkecamuk. Bila tindakan massanya juga menodai nilai-nilai Islam, bukankah FPI juga sepantasnya dilarang? Tapi, bila FPI dilarang, bukankah itu berarti kekalahan politik umat Islam? Bukankah umat Islam di Indonesia saat ini tengah berjuang habis-habisan menghadapi gempuran ideologis dari kaum liberalis?

Saya mencoba mengunyah kegalauan pembicara itu. Mungkin, bangsa ini memang akan lebih damai bila tanpa Ahmadiyah dan FPI. Akan sangat baik bila masing-masing sukarela membubarkan diri. Kalau enggan melakukan itu, pemerintah--bila cukup alasan hukum--dapat membubarkannya secara baik. Kalau ada keberatan, ada saluran hukum untuk menyatakannya. Negara memang tak boleh mengatur keyakinan pribadi. Namun, negara wajib mengatur perilaku sosial, meskipun perilaku itu berdasar keyakinan pribadi.

Belum tuntas saya mencerna soal itu, sesepuh masjid bicara, "Kita umat Islam ini jumlahnya banyak. Dibanding umat lain, kita miskin dan bodoh. Apalagi yang dipunyai kalau bukan emosi." Sepertinya, ia menunjuk massa FPI yang tampak beringas saat merasa menegakkan kebenaran. Keberingasan yang tak terjadi di masa Rasulullah SAW.

Di zaman Nabi, kaum Yahudi yang berkhianat pun tak dipukuli, melainkan diatasi dengan hukum. Ali, dalam perang, juga memilih menyarungkan pedang saat merasa dirinya emosi. Ia tahu persis, Islam tidak dapat ditegakkan dengan kemarahan.

Tak mudah tentu bagi massa buat memahami prinsip begitu. Terus tertekan oleh keadaan yang dianggap semakin tak benar, juga terpinggirkan oleh pusaran peradaban, memang gampang membuat gamang. Kegamangan yang mendorong untuk segera mencari pegangan.

Orang-orang Ahmadiyah mendapatkannya dari Ghulam Ahmad. Massa FPI dari Rizieq Shihab. Kita cenderung merasa nyaman berada di tengah kerumuman. Kita merasa itu tuntunan agama untuk berjamaah secara benar.

Kita sering kali lupa bahwa para nabi telah mengajari pemeluk Tauhid sejati yang akan meraih bahagia duniawi dan ukhrawi adalah orang-orang merdeka dan mandiri karena bergantung langsung pada Ilahi. Orang-orang demikian adalah para petarung kehidupan yang gigih dan sabar, yang akan memperoleh surga (QS 3:142). Juga, orang-orang yang berada dalam situasi apa pun akan dihadapinya dengan bersyukur, dengan syukurnya akan memperoleh tambahan nikmat (QS 14:7).

Sebagian kita lebih menikmati menjadi bagian dari kerumuman massa yang gampang dikerahkan dan dimobilisasi. Juga, gampang diprovokasi dan rawan ditunggangi. Termasuk, kabarnya, oleh sebagian kalangan keamanan sendiri. Fenomena FPI menyadarkan, masih jauh perjalanan umat ini untuk menjadi penganut ajaran Tauhid sejati yang siap menghadapi setiap persoalan secara bijaksana dan baik sesuai tuntunan Ilahi. (Zaim Uchrowi )

Politik Kasual

Sudah lama rasanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak tampil khusus dalam wawancara televisi. Tapi, sekitar dua pekan silam SBY, begitu kita biasa menyebut namanya, muncul. Di kesempatan itu, SBY tak menutupi pandangannya tentang kompetisi dalam pemilihan presiden 2009 nanti.

Pemunculan seorang politisi dalam wawancara televisi semestinya memang soal biasa. Tapi, dalam budaya politik kita, yang banyak dipengaruhi budaya politik feodal Jawa, seorang kepala negara seolah tabu untuk dimunculkan seperti itu. Pemimpin harus dijaga untuk tetap mempunyai 'jarak' dengan masyarakatnya. Dengan begitu aura dan kharisma sang pemimpin akan tetap terpelihara. Itu dipercaya sebagai salah satu hal terpenting untuk menjaga kepemimpinan.

Dengan muncul di TV dan berbicara apa adanya tentang pandangannya sendiri, SBY seperti menabrak tabu tersebut. Untuk memperkuat iklim masyarakat madani yang perlahan semakin tumbuh, itu langkah baik. Dengan cara itu, masyarakat akan memahami bahwa jabatan presiden hanyalah sebuah tugas. Jabatan presiden bukan sebuah kemuliaan khusus di hadapan Tuhan seperti dianggapkan pada raja-raja dulu. Dengan cara pandang baru tersebut, presiden akan ditempatkan pada posisi yang lebih pas dibanding dengan menggunakan paradigma lama.

Pemunculan SBY di televisi menjadi salah satu indikasi perubahan wajah politik Indonesia. Hingga beberapa tahun silam, mungkin karena pengaruh Orde Baru, politik terasa sebagai hal yang 'serius-formal'. Seolah politik tak mungkin dipahami, apalagi digeluti, masyarakat kebanyakan. Kesan kaku politik seperti itu terasa semakin mencair hari-hari belakangan ini. Politik menjadi semakin terasa kasual, hal biasa untuk menjadi bahan percakapan harian. Para tokoh politik juga tak lagi malu-malu memunculkan diri agar diperhitungkan menjadi salah satu alternatif kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Wiranto, misalnya. Sudah sejak tahun lalu, saat membentuk Partai Hanura, wajahnya mulai terpampang di mana-mana. Ia mengangkat isu kemiskinan sebagai slogan perjuangannya, dan secara frontal langsung menyerang kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM. Prabowo kemudian tampil di layar televisi, mengangkat isu kepentingan petani. Lalu, memanfaatkan momentum Hari Kebangkitan Nasional, giliran Soetrisno Bachir pun muncul secara gencar dengan mengusung seruan 'hidup adalah perbuatan'.

Pemunculan di publik melalui media tersebut mendekatkan para tokoh pada masyarakat luas. Hal itu akan membuat publik lebih mengenal para tokoh yang mungkin akan menjadi pemimpin masa depan. Masyarakat mulai dapat menimang siapa yang mungkin akan didukungnya nanti dalam pemilihan presiden. Sejumlah nama kini telah ada di tangan mereka.

SBY tentu salah satu kandidat yang akan tampil selain mungkin Jusuf Kalla. Dari 'kelompok tengah' mulai disebut-sebut pula nama Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo dari sayap keluarga militer. Sedangkan dari sipil ada nama Hamengkubuwono X, Akbar Tanjung, dan Soetrisno Bachir. Dari sayap Islam setidaknya ada tiga nama yang diharapkan pendukungnya untuk maju sebagai kandidat, yakni Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Hidayat Nurwahid. Sedangkan dari sayap nasionalis-marhaen, Megawati sebagai kandidat utama untuk maju. Dari semua nama itu, Hidayat Nurwahid, Soetrisno Bachir, dan Prabowo yang terbilang muda yang tentu sedikit banyak akan memanfaatkan 'demam Obama' dalam kompetisi politik kita nanti.

Menganalisis kemungkinan politik seperti itu bukan lagi monopoli para akademisi. Itu juga telah menjadi keseharian masyarakat umum. Iklim demikian akan mendorong politik menjadi lebih bermanfaat bagi publik. Juga menghindarkan dari ketegangan yang tidak perlu yang dulu sering terjadi. Jadi, mari syukuri iklim politik yang kian kasual ini. (Zaim Uchrowi )

Menggempur Kemiskinan (SBY & BLT 2)

Tiga pekan lalu, dalam Resonansi berjudul 'SBY & BLT', saya menulis bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) dapat sejenak mengatasi 'dahaga' jutaan warga miskin. Tapi, saya sebut pula bahwa akan lebih baik bila pemerintah membuat program yang lebih mendasar untuk menggempur kemiskinan dibanding program karitatif begitu.

Rencana pengucuran puluhan triliun rupiah kredit mikro menjelang Pemilihan Presiden 2009 nanti pun menurut saya juga belum cukup mendasar buat mengatasi kemiskinan. Beberapa orang mereaksi tulisan itu. "Kalau bantuan tunai dan kredit mikro belum mendasar untuk mengatasi kemiskinan, lalu apa yang mendasar?"

Kita cenderung menganggap kemiskinan semata sebagai fenomena ekonomi. Maka, solusi ekonomi selalu menjadi pilihan utama. Apalagi, pilihan ini mudah diukur dan gampang populer secara politik. Padahal, sebenarnya, kemiskinan bukan sematan fenomena ekonomi. Ia juga fenomena sistem, bahkan budaya dan mentalitas, yang lebih rumit dicarikan solusi dibanding solusi ekonomi.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan badan dunia UNDP memberi petunjuk jelas. Persoalan kesejahteraan, menurut IPM dan juga filosofi tua Jawa, menyangkut tiga hal. Ketiganya adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Manusia sejahtera adalah manusia yang kenyang, sehat, dan cerdas. "Wareg, waras, wasis," begitu menurut istilah Jawa. Bila ketiganya tak terpenuhi secara semestinya, itulah miskin. Ketiga aspek itulah ukuran puncak piramida kemiskinan, yang dengan mudah dilihat oleh siapa pun.

Namun, piramida tentu bukan hanya puncak. Ada bagian di bawahnya yang menopang puncak tersebut, yang sangat terkait dengan aspek sistem. Di bagian ini, ada aspek lingkungan secara menyeluruh, aspek birokrasi yang diamanahi mengelola negara ini, juga aspek hukum yang harus menjaga tegaknya keadilan agar tak ada ketimpangan yang kian memiskinkan si miskin. Reformasi lembaga hukum, reformasi birokrasi, serta pembangunan lingkungan (alam ataupun fisik), harus dilakukan untuk mengatasi piramida kemiskinan tersebut.

Tak cukup di situ. Piramida juga memiliki bagian dasar yang tertanam di tanah. Dalam piramida kemiskinan, bagian dasar adalah pemahaman keagamaan, budaya yang menjadi pegangan, bahkan karakter mentalitas pribadi bangsa ini. Perlu upaya keras untuk menyentuh aspek-aspek ini. Kantong-kantong kemiskinan yang parah di negeri umumnya justru terdapat di masyarakat yang kental nuansa keagamaan.

Kekerasan bermotif agama pun umumnya tak bebas dari persoalan kemiskinan, meskipun ada hal yang menjadi pemicunya. Budaya feodal dan mistis yang tidak rasional kian mengekalkan kemiskinan. Mentalitas 'mau gampang' atau enggan berusaha keras juga menjerembabkan bangsa ini pada kemiskinan.

Bila sungguh-sungguh ingin menggempur kemiskinan, mari atasi dulu hal-hal mendasar itu. Tanpa menyentuh hal paling mendasar tersebut, upaya menanggulangi kemiskinan hanya akan tampak bagus secara politis, namun tak akan sampai tujuan. Mudah-mudahan, di sisa masa jabatan sekarang, SBY-JK masih sempat menyentuh sisi paling mendasar dari piramida kemiskinan itu. Para pemimpin lain yang ingin membangun negeri ini semestinya juga memfokuskan diri untuk mengatasi hal mendasar itu. (Zaim Uchrowi )

SBY dan BLT

Meluncurlah ke Pacitan, tempat asal Presiden SBY. Dari arah Ponorogo, perjalanan akan melalui jalur meliuk yang terjepit tebing batu cadas terjal di satu sisi dengan ngarai curam di sisi lainnya. Di saat matahari berada di puncaknya, alam terasa garang. Kegarangan yang sulit dicari bandingnya di tempat lain di negeri ini. Kegarangan yang juga menyembulkan romantisme kental, terutama setelah matahari bergeser ke barat, mendekati tenggelam.

Ruas jalan itu mengingatkan pada celah Khyber, jalur penghubung Pakistan-Afghan. Tentu pada tingkat miniaturnya. Setelah beberapa kilometer jalur itu terlewati, tebing pun melandai. Dasar sungai pun naik memperlihatkan miliaran batu yang dimilikinya serta airnya yang mengalir di sela-sela bebatuan itu. Alur sungai akan terus menemani perjalanan sebelum kemudian sampai di kota, dan menuju ke arah pantai tempat air laut secara ritmis membasuh pasir di hadapan teluk tenang itu.

Di ruas sebelum jalan benar-benar melandai, hampir di setiap tikungan di kiri jalan, umumnya terlihat tumpukan kecil pecahan batu. Satu-dua orang dengan tubuh kering dan kulit legam terbakar matahari duduk di dekatnya. Topi atau peneduh kecil yang dibuat untuk melindungi dari panas, tak sepenuhnya membantu. Kebanyakan mereka wanita, sebagian bahkan terlihat begitu renta. Ketika para lelaki mengangkat batu-batu itu dari kali, tangan-tangan mungil dan keriput menggenggam palu memukuli batu-batu hingga memjadi pecahan kecil, buat membangun jalan dan campuran beton.

''Ya, Allah! Di zaman sekarang yang sudah begitu maju, masih kusaksikan dengan mataku sendiri perempuan-perempuan tua yang harus hidup dengan menggunakan tangannya untuk memecahkan batu.'' Tak mudah membebaskan mereka dari jeratan keadaan itu. Bahkan, bagi SBY sekalipun yang tentu sangat tahu keadaan itu. Garangnya keadaan telah menempa para wanita tua itu menjadi begitu tekun, ulet, dan pasrah. Ketekunan, keuletan, dan kepasrahan pantas mendapat imbalan. Tak hanya kelak di akhirat, melainkan juga semestinya di dunia.

Begitu berat beban kehidupan yang harus mereka pikul. Maka, sedikit uluran berupa dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diputuskan SBY tentu berarti. Setidaknya, bantuan itu dapat menjadi seperti seteguk air saat mereka bekerja keras memecah batu di terik siang. SBY memahami itu, maka ia teguh hati memutuskan untuk tetap menyalurkan BLT.

Suara tidak sependapat tentu ada. Terutama justru dari kalangan yang selama ini aktif dalam upaya memberdayakan masyarakat. Dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat, pemberian uang secara langsung seperti BLT hanya akan melemahkan mental. Membuat terbiasa bergantung hingga dapat menjadi manusia peminta. Itu dipandang memiskinkan jiwa. Sedangkan miskin jiwa lebih berbahaya dibanding miskin materi karena akan terus menjerat pengidapnya dalam kemiskinan total.

''Mengapa BLT tak diganti dengan penyediaan kerja massal sehingga orang-orang miskin dapat bekerja dan memperoleh upah? Mengapa tidak diganti dengan kupon untuk membeli bahan pokok secara murah agar uangnya tak dipakai buat beli rokok?'' Suara-suara demikian tentu telah sampai pada SBY. Tapi, berdasar logika politik yang dibenarkan oleh logika ekonomi makro, apalagi yang dapat dilakukan untuk mengimbangi penaikan harga BBM sekarang ini selain segera mewujudkan BLT?

Kemiskinan bukan sekadar persoalan ekonomi dan, apalagi, politik. Persoalan kemiskinan menyangkut pula soal kultural dan sikap mental. Sikap mental kerja keras, tak suka jalan pintas, serta menjunjung integritas. Itu yang ada di balik langkah Park Chung-hee di Korea Selatan di balik program Saemaul Undong-nya. Pemimpin yang hidup sangat sederhana hingga akhir usianya itu berhasil membabat kemiskinan di sana, dan membangkitkan bangsa menjadi salah satu kekuatan ekonomi penting dunia. Transformasi mental dan kultural itu pula yang saya yakini sebagai kunci utama untuk menghancurkan kemiskinan. Itu yang saya yakini sejak 1993 intensif mendalami pemberdayaan masyarakat, baik lewat studi maupun sebagai relawan yang berkeliling ke berbagai daerah termasuk Pacitan.

SBY tentu paham kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi. Tak cukup dengan kucuran BLT, bahkan dengan kredit mikro. Kehebatan Grameen Bank dan BRAC di Bangladesh selama 20-an tahun pun terbukti tak mengangkat bangsa itu keluar dari kemiskinan. Bangladesh tertinggal jauh dibanding Vietnam yang tak punya Grameen. Untuk mengatasi kemiskinan perlu upaya lebih mendasar selain sekadar skema ekonomi. Langkah mendasar yang, mudah-mudahan, di sisa masa jabatan SBY, masih sempat diluncurkan. Bila terwujud, akan muluslah langkah SBY untuk dipilih menjadi presiden lagi. Juga, bakal sulitlah langkah siapa pun untuk mengambil kursi kepresidenan kecuali mempunyai program pengentasan kemiskinan yang lebih bagus.

BLT, dan juga kucuran kredit mikro, tentu bermanfaat. Namun, sekali lagi, perlu langkah yang lebih mendasar lagi untuk mengatasi kemiskinan. Bila langkah itu terwujud, tak akan ada lagi warga negeri ini yang tak tersenyum. Tak akan ada lagi tangan-tangan renta pemecah batu di kelokan-kelokan jalan menuju Pacitan. (Zaim Uchrowi )

Perempuan Perkasa

Orang-orang menyebutnya Bu Ali. Seorang perempuan tua, lengkap dengan guratan ketuaan di wajahnya, yang saban hari masih aktif berkeliling menarik kotak Yakult yang dijualnya. Tak ada yang tampak istimewa dari perempuan itu sampai kita mendengar sepenggal kisah dari kehidupannya. Begini;

"Suatu hari, orang-orang ribut. Katanya, ada bayi ditemukan di tempat sampah. Saya dipanggil karena saya dukun pijat bayi. Saya datang. Bayi itu dibungkus dengan kain ulos Batak. Waktu saya buka, masya Allah, bayi itu tidak punya kulit. Jadi bayinya merah daging, dengan di beberapa bagian telah menggembung ...."

Bu Ali membawa pulang bayi itu. Ia sempat membawanya beberapa kali ke klinik. Entah penanganan apa yang diberikan. Yang pasti akhirnya bayi itu tetap kembali ke pangkuan Bu Ali, yang terus berpikir keras menyelamatkan sang bayi. Sebagai alas tidur bayi, ia menyiapkan daun pisang. "Saya takut badannya lengket kalau alasnya kain." Tentu ia harus mencari daun pisang setiap hari, sebagaimana halnya menyiapkan air hangat buat mandi sang bayi.

Tak ada orang lain yang sanggup memandikan bayi itu. Perasaan jijik dan tidak tega bercampur menjadi satu. Para tetangga saban waktu datang ke rumahnya, sekadar untuk melampiaskan rasa ingin tahu, lalu bergidik 'hiii ....' Dengan tangan telanjang Bu Ali mengusap setiap senti daging merah bayi itu. Masih ada semacam kulit tipis di beberapa bagian tubuh bayi itu. Kulit tipis itu mengelupas saat dimandikan. Begitu pula kuku-kuku tangan dan kakinya. Usai memandikan, ia akan mengusap seluruh permukaan tubuh bayi itu dengan minyak zaitun, lalu menjemurnya di sinar matahari.

Getah bening akan keluar dari seluruh permukaan daging itu. Bu Ali akan mengelapnya hingga bersih, sebelum mengusapnya kembali dengan minyak bayi. Bila malam, ia akan mengusapnya dengan semacam talek bayi.

Hari demi hari Bu Ali melakukan itu. Beberapa bulan ketekunannya berbuah. Lapisan kulit tipis menutupi daging itu. Secara berangsur kulit itu menebal menjadi kulit normal yang terang. Dengan segala kekurangannya, Bu Ali merawatnya hingga kini menjadi pemuda yang keren dan jenius. Selangkah lagi bayi buangan tak berkulit itu akan menjadi sarjana dari sebuah universitas negeri.

Bukan kali ini saja Bu Ali mengasuh anak. Ada bayi yang diasuhnya setelah sang ibu diusir dan terpaksa menggelandang di pasar. Ada anak tanggung yang bingung di jalanan karena ditinggal begitu saja oleh pamannya. Anak-anak itu ditampungnya hingga dewasa dan mendapat kerja. Kini Bu Ali harus mengasuh tiga cucunya. Ibu anak itu meninggal setelah lama dirawat di rumah sakit. Ia dihajar suaminya, begitu memergoki sang suami itu berzina di kamarnya sendiri. Bu Ali juga harus pasang badan sendirian menghadapi puluhan warga RT tetangga yang ingin membongkar warung kecil penopang ekonomi keluarganya. Penghasilan suaminya sebagai pekerja di pompa bensin kecil, jauh dari memadai.

Ia memang bukan Tjoet Nya' Dhien, Nyi Ageng Serang, atau Joan D'Arch. Tapi, ia juga seorang perempuan perkasa. Sebuah model keperkasaan yang ditunjukkan secara luar biasa oleh Khadijah. Khadijah, di usianya yang lebih dari setengah abad, pulang balik mendaki Gunung Nur mengantarkan makanan bagi suaminya, Muhammad SAW, berkontemplasi di sana. Ia yang selalu membesarkan hati Nabi, baik saat gamang karena wahyu lama tak turun, maupun saat penistaan dan pengucilannya di Makkah.

Keperkasaan serupa ditunjukkan oleh Ummu Salamah yang dinikahi Nabi setelah Khadijah wafat. Di Hudaibiyah, ketika para sahabat memboikot seruan Nabi karena menolak perjanjian dengan Quraish, Ummu Salamahlah yang menjadi pemberi solusi.

Keluarga, masyarakat, bahkan negara akan berjaya bila perempuannya perkasa. Itu yang diajarkan agama. Keperkasaan perempuan pula yang menjadi salah satu kunci kejayaan bangsa Cina kini. Itu terjadi setelah Mao melarang pemakaian sepatu kecil yang membelenggu kaki perempuan.

Mao juga mendorong para perempuan aktif mengaktualisasi diri, dan bukan untuk bermanja menikmati menjadi penghibur (dan kadang sasaran pelecehan) suami. Figur Khadijah cukup menginspirasi bangsa ini untuk menjadikan para perempuannya perkasa seperti Bu Ali. Itu yang akan menjadikan rumah-rumah tangga, masyarakat, bahkan bangsa berjaya dan bahagia. (Zaim Uchrowi )


Jumat, 18 Januari 2008

Sebutir Kedelai

Samar peristiwa itu terbayang. Di bawah pohon jeruk, di tengah pekarangan yang terasa luas, kami tiga balita menikmati kedelai yang di-'sangrai'. Entah mengapa, seorang diantaranya memasukkan sebutir kedelai ke telinga saya. Berbagai hal dilakukan buat mengeluarkan kedelai itu, namun sia-sia. Semua bingung, maka ke rumah sakitlah pilihannya. Masa itu, urusan begitu saja perlu pembiusan. Saya dibaringkan, hidung ditangkupi sebuah alat yang mungkin menghembuskan 'khloroform' sebagai pembius paling klasik.

Tubuh terasa melemah. Segala sesuatu terlihat biru, sampai kemudian gelap sama sekali. Beberapa waktu kemudian, perlahan mulai terdengar lagi suara. Juga cahaya yang mendorong membuka mata. Sebutir kedelai itu tentu telah diambil dari telinga. Tinggal rasa lemas yang menggelayuti tubuh yang digendong ke dokar di depan rumah sakit. Mungkin kasihan pada bocah lunglai ini, mereka membelikan sepotong besar paha ayam yang bersih terlahap. Masa itu, tak banyak kesempatan buat menikmati sepotong utuh daging ayam. Ternyata bukan hanya penderitaan yang diberikan sebutir kedelai itu, namun juga kegembiraan.

Waktu menunjukkan bahwa bukan hanya pada bocah kecil itu kedelai memberikan penderitaan dan kegembiraan. Pada seluruh bangsa ini juga. Sangat banyak yang telah mendapat kegembiraan dari kedelai. Hampir seluruh bangsa ini menikmati tempe dan atau tahu sebagai bagian dari menu sehari-hari. Makanan berbahan baku kedelai sanggup memberikan protein pada semua lapisan masyarakat. Bahkan pada mereka yang termiskin sekalipun. Kegembiraan terbesar tentu diperoleh para pebisnisnya. Resto modern yang menawarkan berbagai menu berbasis tahu di daerah Kebayoran Baru, Jakarta, laku keras. Tak sedikit pengusaha tahu dan tempe yang sukses besar. Apalagi importir kedelai. Pedagang 'gorengan' di pinggir jalan pun menikmati gurihnya berjualan makanan dari kedelai.

Kegembiraan yang berlangsung lama itu menutupi kemungkinan lain yang dapat ditimbulkan kedelai: penderitaan. Sampai kemudian sang kemungkinan lain itu datang. Harga kedelai melangit. Semua menjerit. Para ibu rumah tangga, pedagang pasar, pembuat tempe dan tahu, hingga para pedagang ‘gorengan’. Tak ada yang menyangka bahwa makanan sehat yang murah itu menjadi mahal. Rasa penderitaan itu sedemikian menusuk hingga menyentuh hati Istana yang lalu memutuskan untuk me-nol-kan bea masuk kedelai.

Bagi para petani, kedelai membuat derita adalah hal biasa. Terpanggang matahari, mereka mengayunkan cangkul mengolah tanah. Dengan sabar mereka menaburkan butir-butir kedelai, memupuknya, menyiraminya, melindunginya dari hama-penyakit, memangkas dengan batang-batangnya, menjemurnya hingga kering, memukuli tumpukan polong buah agar pecah sehingga butiran kedelai bergulir jatuh, lalu bergatal-gatal memisahkan kedelai itu dari pecahan kulit dan batang. Hasilnya: petani mendapat uang pembelian dari pedagang dengan harga sangat rendah. Katanya, kedelainya tidak semenggiurkan kedelai impor. Petani kedelai sudah terbiasa dengan penderitaan itu.

Mereka tidak mengeluh, apalagi menjerit. Mereka bahkan rela berkorban agar yang lain bergembira dengan kedelai. Mereka tidak memprotes keputusan negara membebaskan impor kedelai sebebas-bebasnya.

Membuat gembira atau menderita hanya satu sisi dari dunia kedelai. Sebutir kedelai juga dapat menunjukkan wajah kita sebagai bangsa. Seberapa besar ketergantungan bangsa kita ini pada asing? Seberapa mampu bangsa ini mewujudkan kesejahteraan bagi semua, termasuk bagi keluarga-keluarga tak mampu, keluarga petani, hingga keluarga pedagang kecil? Seberapa profesional pula kita mengelola negara sehingga semua kebutuhan pokok masyarakat terjamin tanpa gejolak?

Krisis kedelai sekarang menjadi alat pembelajar yang baik bagi kita semua. Pembelajar yang membuat kita lebih peka terhadap keadaan sekitar, dan bukan menjadi tuli hati karena telinga tersumbat oleh kedelai. Dengan begitu, kita akan menjadi bangsa yang hebat, yakni bangsa kedelai. Bukan bangsa keledai yang selalu terperosok ke dalam lubang yang sama. (Zaim Uchrowi )

Jumat, 25 Januari 2008

SMS dan Pembodohan

Hari itu, ceramah Pak RW usai shalat Subuh terasa berbeda. Pak RW berbicara dalam tempo pelan dengan nuansa lebih lembut dari biasa. Semua terdiam memerhatikannya. Ia punya pengalaman hidup istimewa. Ia baru pulang dari rumah sakit setelah sempat koma lebih dari 24 jam akibat serangan jantung. Banyak jamaah menduga ia akan menceritakan pengalamannya menghadapi saat-saat kritis itu. Ternyata, tidak.

Pak RW justru menyatakan keprihatinannya pada kondisi sosial sekarang. Ia mepaparkan bertambah beratnya beban hidup masyarakat kebanyakan. Kebutuhan sehari-hari semakin mahal. Minyak semakin sulit didapat. Daya beli masyarakat berupa pangan, pendidikan, dan kesehatan semakin melemah. Ringkas kata, 'hidup semakin sulit'.

Dalam iklim demikian, menurutnya, berpikir jernih dan sehat semakin menjadi kebutuhan. Ketika persoalan hidup kian kompleks, tak ada pilihan yang lebih baik buat menghadapinya selain dengan berpikir jernih dan sehat. Maka, berpikir jernih dan sehatlah yang perlu ditumbuhkan di masyarakat. Jika seluruh bangsa ini dapat didorong ke arah sana, kompleksitas persoalan tersebut sedikit banyak akan dapat terurai. Bangsa ini juga akan bergerak maju ke depan, seberat apa pun tantangan ke depan yang menghadang.

Namun, menyemaikan berpikir jernih dan sehat ternyata tak semudah memakan kerupuk. Yang tersemaikan secara cepat justru cara berpikir gampangan berdasar pada budaya instan dan jalan pintas. Pada tingkat tertentu, budaya demikian juga bermanfaat. Setidaknya, untuk membuat kita melupakan sejenak kegetiran hidup. Juga membuat kita terhibur sesaat. Hal yang penting dalam hidup agar tak patah atau terjatuh selamanya. Namun, budaya itu sangat kuat menyeret kita ke dunia mimpi dan mengabaikan realitas sekitar.

Telepon genggam dan televisi adalah medium efektif buat menyingkirkan berpikir jernih dan sehat. Ia tunjuk berbagai program ramalan dan 'teka-teki' yang banyak dijajakan lewat TV. Coba lihat iklan yang menyuruh menulis reg spasi nama spasi ramal atau apalah yang menjamur di TV.

Masyarakat tidak diajak untuk berpikir jernih dan bekerja keras mengatasi persoalan hidup. Masyarakat diajak memilih jalan instan buat mengatasi persoalan. Hanya dengan mengirim SMS, kita merasa tahu nasib ke depan. Yang lebih runyam, menurutnya, adalah 'teka-teki bodoh', seperti program 'Acak Kata' dan sebagainya. Pertanyaannya sama sekali tidak mendidik.

Huruf dari sebuah kata 'diacak' sangat gampang agar orang mau mengirimkan jawaban sebanyak-banyaknya lewat SMS. Iming-imingnya hadiah Rp 200 juta. "Itu perjudian yang jauh lebih jahat dibanding SDSB dulu," ungkapnya. Tak ada kontrol negara, tak ada notaris yang mengundi pemenangnya, tak jelas pula siapa yang mendapat hadiah. Sedangkan, membuang uang dalam perjudian itu begitu gampang karena hanya dengan cara mengirim SMS. Anak-anak muda dari kalangan bawah tergoda menghamburkan uang puluhan ribu rupiah.

Itu hanya salah satu cara meraup uang dari orang-orang susah dengan menggunakan SMS. Banyak cara lain yang juga ditempuh. Misalnya, mengirim 'petunjuk' pada siswa SD atau SMP yang bertelepon genggam, seperti 'jangan pilih jawaban B kalau ujian di hari...'. Lalu, bocah-bocah polos akan menyebarkan 'petunjuk' itu pada kawan-kawannya. Atau, bekerja sama dengan televisi dalam berbagai macam lomba idola. Pemirsa didorong untuk mengirim SMS buat memenangkan idola. Bila perlu, sang peserta menjual rumah keluarga buat membiayai pengiriman SMS dukungan bagi dirinya sendiri agar segera sukses menjadi bintang. Hasilnya, terbanting.

"Saya heran, ada yang tega berbisnis dengan membodohi masyarakat lewat SMS begitu?" kata Pak RW lembut. "Saya tidak mengerti bagaimana operator telepon seluler dan pemilik stasiun TV mau memfasilitasi bisnis begitu. Kalau pembodohan itu terus berlangsung dan pemerintah juga tak peduli soal begini, bagaimana masa depan bangsa kita?" Saya terdiam. "Inilah wajah kita saat ini."
(Zaim Uchrowi )

Mendidik dengan Hati

1968. Bu Kusman, guru kelas dua itu, mengajari saya posisi tangan yang tepat untuk shalat. Juga mengenalkan pengertian tuma'ninah. Sekilas yang dilakukannya sederhana. Hanya mengajarkan cara shalat yang baik. Tetapi, bekasnya memanjang hingga kehidupan saya sekarang.

Pengajaran Bu Kusman membuat saya punya jurus saat menghadapi saat-saat tidak mengenakkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah kegalauan kerja, misalnya, pengajaran 40 tahun silam itu membantu saya untuk mampu ''berhenti'' sejenak. Sebuah jeda yang membawa hati menuju kedamaian dan membuat saya mampu melihat sekeliling secara lebih jernih. Sebuah jurus yang saya syukuri di tengah keadaan yang kian pepat sekarang. Bu Kusman bukan sekadar mengajar, melainkan mendidik. Dan, mendidik sebenarnya selalu dengan hati.

Tidak sedikit kisah guru yang mendidik para siswanya dengan hati. Bu Atiek di Magetan mampu memotivasi siswa yang tersisihkan di sekolah dan keluarga untuk kembali bangkit mengasah seluruh potensi. Pak Sutiyono di Juanda membuat beberapa terobosan sederhana yang membuat para siswanya antusias mempelajari Bahasa Inggris. Mereka bukan menjadi guru karena kebutuhan mendapat pekerjaan. Mereka termasuk anak-anak terbaik saat sekolah. Mereka mencintai pekerjaan yang memang sangat mulia, yaitu membangun anak-anak menjadi manusia berkarakter. Andrea Hirata, lewat novelnya Laskar Pelangi, menggambarkan secara pas, betapa dahsyat hasil mendidik dengan hati meskipun itu ''cuma'' dilakukan guru sederhana.

Sayangnya, saat ini, iklim pendidikan belum sepenuhnya dapat menyemaikan iklim yang dapat menyuburkan spirit mendidik dengan hati. Kuatnya kecenderungan materialis serta budaya pendidikan yang mekanistis dan satu sisi membuat spirit mendidik dengan hati tertekan. Pendidikan tereduksi sekadar menjadi penyampaian pengetahuan (transfer of knowledge). Dua aspek lainnya, yakni pembiasaan (conditioning) dan keteladanan.(Conditioning) tidak berkembang. Padahal, ketiganya harus menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Tidak menyatunya ketiga aspek tersebut membuat lulusan sekolah menjadi pribadi yang rapuh. Pribadi yang pengetahuannya dapat dipertanggungjawabkan sampai ujian dilakukan untuk kemudian kembali lupa. Pribadi-pribadi yang tidak utuh dan kuat untuk menghadapi tantangan kehidupan yang kian keras ini. Fenomena kemiskinan yang ada sekarang bukan semata fenomena ekonomi. Fenomena ini lebih merupakan fenomena pendidikan, produk ketidakmampuan kita bersama untuk mendidik para tunas bangsa dengan hati. Semakin beratnya tantangan hidup yang ditandai dengan ketidakpastian kecukupan energi dan bayang-bayang krisis pangan sekarang, kian mencuatkan kebutuhan bersama untuk mengubah iklim pendidikan, yaitu kembali mendidik dengan hati. Hanya bangsa dengan pribadi-pribadi kuat yang akan mampu menghadapi kesulitan dunia ke depan.

Di kalangan masyarakat umum, kesadaran untuk mendidik dengan hati sedikit banyak mulai tumbuh. Siska, seorang ibu rumah tangga yang dibantu suaminya Yudhistira A Massardi, membuka TK gratis bagi anak-anak miskin di garasi rumahnya. Dengan sepenuh hati, ia memupuk potensi bocah-bocah kumuh di sekitarnya. Ia harus muntah-muntah karena lendir telinga Fudin yang hanya bisa menjerit-jerit tanpa pernah jelas berkata (ternyata ia memang tuli akibat infeksi telinga bertahun-tahun). Ia harus mengatasi trauma seorang siswa yang dipukuli ibunya dengan sandal di depan sekolah, juga trauma murid termanisnya yang menjadi diam membisu setelah rambut yang dibanggakannya dipangkas semaunya oleh kakaknya yang depresi.

''Malamnya, sehabis shalat, aku menangis. Aku terus berdoa minta kekuatan dan diberi bonus kesabaran agar dapat menerima anak-anak itu dengan ikhlas dan agar ditumbuhkan rasa kasih sayang dalam hati,'' tutur Siska yang kini melangkah membangun SD gratis. Ia menuliskannya dalam buku Rumah Kisah. Sebuah buku yang memaparkan pengalaman membangun sekolah bagi kaum papa. Ia membuktikan bahwa hati lebih diperlukan dalam mendidik ketimbang uang. Itulah sisi yang melemah di iklim pendidikan sekarang.

Di Hari Pendidikan sekarang, mari pejamkan mata. Dengan hati, mari kita rasakan kesulitan orang-orang di sekitar kita yang makin tak berdaya menghadapi beratnya beban kehidupan. Mari sebarkan semangat mendidik dengan hati, seperti yang dilakukan Siska atau Bu Kusman, buat menyelamatkan bangsa ini. (Zaim Uchrowi )

Syukur dan Senyum

Saban hari saya bertemu orang-orang luar biasa. Orang-orang yang menjalani hidup sangat berat, namun selalu tampak antusias. Seorang office man, misalnya, harus menempuh perjalanan yang panjang untuk sampai kantor. Rumahnya di Cikampek, sekitar 70 km dari Jakarta. Dari Cikampek pun masih ke timur lagi, yakni di Jatisasi.

Pagi-pagi benar ia harus mengejar kereta api di Stasiun Cikampek, berjejalan dengan para pelaju lainnya dalam pepat gerbong, menuju Stasiun Senen, Jakarta. Baru kemudian berjalan kaki ke kantor. Yang lainnya harus naik bus dari Parungkuda, Sukabumi, setiap hari ke Jakarta. Di Perungkuda pun, rumahnya masih beberapa kilometer lagi masuk ke dalam.

Sosok-sosok itu seperti tak tampak lelah setiba di kantor. Wajahnya selalu berbinar. Senyumnya juga gampang mengembang. Padahal penghasilan mereka, sebagaimana rekan-rekan sejawatnya dan juga kawan seperjalanannya di bus maupun kereta api, sangat pas-pasan. Kadang, mereka juga baru dapat meninggalkan kantor setelah matahari terbenam.

Lalu, tiba di rumah saat anak-anak telah tertidur, dan sang istri juga telah begitu lelah. Bukan hanya karena harus menanggung pekerjaan rumah sendirian, namun juga pusing memutar otak mengatur belanja saat harga-harga naik seperti sekarang. Mereka terus bekerja dan bekerja. Mereka yakin kerja kerasnya akan diganjar Sang Khalik bukan hanya di akhirat kelak. Juga di dunia sekarang. Walaupun mungkin imbalan itu bukan diperoleh lewat kantornya, melainkan lewat jalan lainnya.

Di hari-hari seperti sekarang, saat berita di surat-surat kabar hingga televisi didominasi oleh nuansa muram, 'virus positif' yang dimiliki orang-orang itu perlu disebarluaskan. Siapa bilang orang-orang itu tak menghadapi kehidupan yang berat. Siapa bilang mereka tak ikut merasakan dampak melonjaknya harga minyak dunia. Siapa bilang mereka tak kesulitan berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak-anaknya sekolah. Banyak orang lain akan menggerutu, marah pada keadaan, atau setidaknya bingung. Tetapi, mereka tidak. Mereka terus berbuat, berbuat, dan berbuat.

Pesimisme menghadapi keadaan, di hari-hari sekarang, sangat dapat dimengerti. Setelah krisis moneter 1997, secara berangsur perekonomian masyarakat memang bangkit. Namun, belum sampai pada tahap yang aman. Ekonomi negara belum menemukan format yang pas untuk membangkitkan sektor riil. Fenomena pengangguran masih sangat besar. Di tengah keadaan demikian, bencana terus mendera. Struktur ekonomi dunia juga goyah, terutama karena terkait dengan krisis energi. Di waktu terdahulu kita memang pernah menghadapi masa-masa sulit. Tetapi, saat itu, sumber daya alam yang kita miliki belum sekritis saat ini. Maka, dapat dikatakan, belum pernah kita menghadapi tantangan yang seberat saat ini dalam perekonomian bangsa.

Mengeluh atau menghambur-hamburkan kritik sama sekali bukan jawaban. Apalagi, seberapa pun besar kesulitan yang ada, nikmat yang kita peroleh tak ada batasnya. Maka, tentu bukan kejengkelan atau keputusasaan yang tepat buat menyikapi keadaan ini. Justru syukurlah yang perlu kita perlukan. Seberapa pun sulit dan berat beban hidup ini, syukur akan mempermudah dan meringankannya. Setiap kesulitan didesain khusus untuk diri kita masing-masing. Maka, kita perlu berterima kasih, dan bukan mengeluh, atas kesulitan itu. Justru kesulitan itulah yang akan mengantarkan kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan juga lebih sukses.

Dahlan Iskan, CEO dan pemilik grup Jawa Pos, menyebut bahwa ekspresi syukur yang paling baik adalah dengan bekerja keras. Ia melakukan itu. Tanpa menunggu waktu, begitu tuntas menjalani transplantasi hati (operasi yang menewaskan Nurcholish Madjid), ia kembali bekerja keras. Sering bahkan lebih keras dibanding sebelum levernya bermasalah. Orang-orang hebat di sekitar saya, sepert yang dari Cikampek dan Parungkuda, itu juga bersyukur dengan cara bekerja keras.

Alangkah baiknya jika kita semua juga bersyukur dengan bekerja keras, seperti mereka. Tak punya pekerjaan? Tak soal yang penting terus berbuat, berbuat, dan berbuat. Insya Allah kita semua akan menjadi manusia tersenyum. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tersenyum, setelah sebelumnya bersyukur dengan bekerja keras. Dengan jalan itulah berkah akan datang: negeri ini akan aman sentosa.
(Zaim Uchrowi )

Sejuk

Pertengahan tahun di negeri kita ini adalah saat-saat memasuki musim kemarau. Udara biasa memanas. Kekeringan mulai terjadi. Lahan persawahan di beberapa daerah dikabarkan mengering. Perjalanan tongkang pengangkut batu bara di Sungai Barito juga mulai terganggu.

Namun, di tengah pergeseran musim itu, kesejukan ternyata belum hilang. Di Jakarta pada beberapa pagi terakhir ini, udara masih terasa sejuk. Segar buat dinikmati dengan berjalan kaki sebelum sibuk dengan urusan kerja sepanjang hari. Kesejukan begini yang kita harapkan ada di seluruh negeri ini. Baik pada alam maupun pada suasana kehidupan sosial politik masyarakat. Persoalan Ahmadiyah dan FPI hingga dua pekan silam sempat dikhawatirkan membuat gerah suasana. Namun, kali ini, pemerintah melangkah tepat. Alhamdulillah, tak ada gejolak. Kesejukan suasana tetap terjaga.

Tak mudah menangani soal Ahmadiyah. Sejak kerusuhan di Bogor beberapa tahun silam, urusan ini seperti menjadi bola panas. Saat itu, jamaah Ahmadiyah menggelar pertemuan nasional di sebuah pesantren. Sebagian masyarakat sekitar keberatan. Sebagian kalangan Ahmadiyah tak ingin berendah hati: memaksa melangsungkan pertemuan karena merasa itu haknya. Di kalangan yang menolak, muncul pula sosok-sosok yang memperkeras bentuk penolakan. Itu kesempatan beraktualisasi untuk menjadi tokoh massa 'penjaga kemurnian Islam'. Perang batu terjadi. Media mendapat liputan seru buat pembacanya.

Usai peristiwa itu, diam-diam semua menggalang kekuatan. Para 'pembela Islam' yang percaya pada kekuatan pengerahan massa untuk 'perjuangan'-nya mulai membidik Ahmadiyah sebagai sasaran itu. Menurut sejumlah kriteria, Ahmadiyah adalah sasaran yang bagus. Konsep kenabian pada Ahmadiyah menyimpang dari ajaran baku Islam. Ahmadiyah juga mulai dijadikan ujung tombak 'perjuangan' pengusung liberal.

Kalangan Ahmadiyah juga semakin percaya diri karena kian banyak tokoh publik siap pasang badan. Tentu, juga mengatasnamakan kebenaran. Maka, sempurnalah Ahmadiyah sebagai sasaran. Apalagi, sudah agak lama para 'pembela Islam' tidak punya musuh jelas. Sedangkan, musuh jelas, menurut logika politik, wajib dipunyai buat menjaga eksistensi diri. Lalu, terjadilah kekerasan di lapangan Monas hari itu.

Sikap sebagian besar umat Islam dalam urusan ini cukup jelas. Kalangan yang bertekun untuk berjamaah di masjid dan mengaji saban hari percaya bahwa ajaran Ahmadiyah keliru. Namun, para penganut Ahmadiyah tetap harus diperlakukan secara baik. Di tengah ingar-bingar suasana, pandangan demikian terkubur oleh dua sisi ekstrem yang vokal. Seolah tidak ada pilihan selain menyerang habis atau membela habis.

Syukurlah, pada akhirnya, suara mayoritas yang sunyi itu yang lebih dijadikan dasar pemerintah buat mengambil keputusan. Pak Maftuh bersama Pak ... dan Pak ... menyatakan bahwa penyebaran ajaran Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran dasar Islam itu dilarang. Sebaliknya, polisi juga menindak secara hukum mereka yang menyerang massa AKKBB, kelompok pendukung Ahmadiyah. Langkah pemerintah tersebut secara umum menenteramkam.

Intelektual muslim yang santun, Mas Syafii Anwar, menyatakan bahwa citra positif umat Islam Indonesia sebagai umat yang moderat di mata dunia lenyap karena insiden lapangan Monas itu. Pandangan itu dapat dipahami karena ia korban langsung kekerasan tersebut. Pepatah lama juga menyebut 'nila setitik rusak susu sebelanga'. Tapi, suasana di masyarakat setelah pemerintah mengambil sikap jelas ternyata cukup damai.

Tekanan hidup, ketidakjelasan masa depan, dan/atau merasa menjadi korban ketidakadilan memang mendorong sebagian umat menjadi pemberang. Namun, mayoritas umat ini tetaplah umat yang santun, menghargai perbedaan, dan memercayai petunjuk Nabi Muhammad SAW bahwa tidak ada kebaikan seseorang bila tanpa kelembutan. Umat Islam di negara ini pada dasarnya tetaplah umat yang menyukai serta penyebar kesejukan. (Zaim Uchrowi )

Bangkit? Dari Apa?

Kebangkitan apa yang sebenarnya kita harapkan terjadi pada bangsa ini? Saya khawatir kita tak tahu, meskipun peringatan besar-besaran Seabad Kebangkitan Nasional telah tergelar.

Bangkit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti 'bangun' (lalu berdiri) atau 'bangun kembali'. Dalam istilah lain, bangkit berarti berdiri kembali setelah terjatuh. Secara heroik, hal itu terlihat pada bangsa ini setelah abad ke-19 bergulir menjadi abad ke-20. Sebagian besar pemimpin bangsa ini, terutama yang berinteraksi dengan pihak luar, merasa bahwa sebagai bangsa kita telah terjatuh. Penjajahan Belanda adalah wujud keterjatuhan kita. Bangsa ini telah tersungkur di kaki penjajah. Bukan tegak sebagai bangsa merdeka yang mampu menentukan langkahnya sendiri untuk mejadi sejahtera.

Pada saat itu, sebagai bangsa, sepertinya kita memiliki perasaan rendah di hadapan bangsa-bangsa lain. Sebuah perasaan yang memicu api kebangkitan di dalam diri para pemimpin saat itu. Api itulah yang disulutkan ke setiap anak bengsa melalui berbagai cara. Mulai dari membuat media, seperti Medan Priayi, hingga membangun gerakan, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Syarikat Dagang Islam. Para tokoh penggerak saat itu meyakini bangsa ini harus bangkit. Bangsa ini harus merdeka. Bangsa ini harus berdiri sejajar dengan yang lain. Kemudian, kita bersepakat tahun 1908 untuk menjadi tonggak kebangkitan itu.

Banyak peristiwa penting yang terjadi pada tahun itu. Berdirinya Budi Utomo yang diprakarsai dr Soetomo, seorang dokter yang religius, dan kawan-kawan menjadi salah satu tonggaknya. Tahun itu pula, banyak tokoh besar yang kemudian mengukir sejarah kebangsaan Indonesia juga dilahirkan. Di antaranya adalah Buya Hamka dan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada 1908 pula, sebuah komisi untuk mendidik rakyat dibentuk. Komisi yang lalu menjadi Balai Pustaka inipun berkembang sebagai media efektif untuk membangkitkan kesadaran berbangsa. Kesadaran yang berbuah pada Sumpah Pemuda 1928, kemudian Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Bangkit hanya akan terjadi ketika kita merasa terjatuh. Dalam Perang Dunia II, Jenderal MacArthur berhasil memenangkan Amerika atas Jepang setelah ia merasa 'sakit' karena markasnya di Filipina dihancurkan. Korea Selatan kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi penting di dunia setelah merasa sakit atas krisis ekonomi yang disebutnya sebagai 'Krisis IMF'.

Sebuah krisis yang di sini disebut Krisis Moneter. Akbar Tanjung membangkitkan Golkar karena ia tak rela bila partai yang membesarkannya menjadi bulan-bulanan politik pasca-Reformasi. Grup Bakrie bangkit menjadi grup bisnis yang kuat setelah Nirwan Bakrie pontang-panting menyelamatkannya dari kebangkrutan dalam krisis 1997. Sekarang, saya dan kawan-kawan juga bekerja keras membangkitkan Balai Pustaka yang mengalami keterpurukan terdalam sepanjang sejarah.

Pertanyaan yang mengemuka, apakah sebagai bangsa saat ini kita merasa terpuruk? Apakah kita merasa rendah di hadapan bangsa lain? Ataukah kita merasa biasa-biasa saja?

Saat ini, kita tengah berhadapan dengan keadaan yang sangat sulit. Krisis energi, kehancuran lingkungan, krisis kependudukan, hingga krisis pangan adalah persoalan nyata, dalam krisis energi misalnya. Kita baru berkutat mencari solusi yang aman secara teknis ekonomis dan politis. Jauh dari solusi total tentang energi masa depan. Dalam ekonomi, kita baru sebatas menjaga stabilitas makro. Belum membangkitkan ekonomi riil. Dalam berdemokrasi, mengelola pemerintahan, hingga memberantas korupsi juga baru sebatas legal formal. Belum menukik ke substansi. Sebuah kondisi sangat rawan yang seharusnya membuat kita merasa 'jatuh' dan bertekad mengubahnya.

Tapi, tampaknya, sekarang kita tak merasa tengah terjatuh. Kian beratnya beban hidup masyarakat bawah tak membuat mereka merasa perlu untuk bangkit. Mereka sudah terbiasa pasrah. "Nasib," begitu kata mereka. Jalani saja meski dengan luluh lunglai. Sebuah sikap hasil pengajaran agama yang menyesatkan. Juga, hasil pelestarian kultur feodal oleh para pemimpinnya. Bagi kita yang lebih berada, apa yang membuat merasa terjatuh dan harus bangkit.

Kalangan elite negeri ini hidup sangat berkecukupan. Jabatan publik dan politik telah memberi kemakmuran luar biasa pada banyak pribadi di negeri ini. Mereka puas pada keadaannya sendiri. Kebangkitan macam apa yang dapat kita bayangkan ketika peduli hanya sebatas kata-kata?

Kita tak mungkin bangkit bila tak tahu harus bangkit dari apa dan hendak menjadi apa. Kita tampaknya tenang-tenang saja. Padahal, cobalah cari tahu dari pandangan paling jujur orang-orang Singapura: Bangsa Melayu ini adalah bangsa rendah. Malas dan kebanyakan pemimpinnya korup serta mementingkan diri sendiri saja. Bukan rakyat. Jika tak ingin dipandang rendah, dan faktanya memang rendah, mari bangun dari posisi rendah itu. Mari bangkit! Mari singkirkan sikap gampang menyerah pada nasib, korup, dan feodal! Mulai dari diri sendiri, mulai sekarang! (Zaim Uchrowi )

Nilai Bangsa

Di Jimbaran, Bali, malam itu, bukan cuma nyanyian ombak yang terdengar. Bukan cuma kenikmatan ikan bakar yang terasakan. Bukan pula cuma lampu-lampu kecil pengukir bayangan pada wajah-wajah berbagai bangsa yang menyejukkan. Ada hal yang lebih berharga yang saya dapatkan saat itu: pelajaran. Sebuah pelajaran bagaimana suatu masyarakat bertahan dan berkembang.

Lelaki berusia 52 tahun itu tampak antusias berbagi pemahaman. Ia bukan orang Bali. Ia pendatang. Ia mengaku segera terkesima pada Bali begitu menyelami kehidupan masyarakat setempat. "Waktu kecil saya mendapat nilai-nilai agama saat mengaji," ungkapnya. Nilai-nilai yang menurutnya tak banyak dijalankan di lingkungannya di Jakarta. "Di sini (di Bali), di masyarakat yang memeluk keyakinan agama berbeda, nilai-nilai itu justru begitu diresapi."

Masyarakat Bali tak mengenal konsep Tauhid. Namun, keberserahan masyarakat setempat pada Hyang Widi, sang pencipta yang tunggal, jauh melebihi kebanyakan pemeluk ajaran keesaan Allah Sang Khalik. Keberserahan yang diaktualisasikan dalam menjalani hidup sehari-hari. Baik pada diri pribadi maupun dalam bermasyarakat. Nilai-nilai agama yang dipegangnya bukan di tingkat formalitas, melainkan telah meresap ke dalam jiwa menjadi nilai-nilai spiritualitas.

Seorang Bali diajari untuk mengelola penghasilannya menjadi tiga. Sepertiga (sekali lagi hanya sepertiga) untuk konsumsi. Sepertiga untuk tabungan. Sepertiga untuk sosial. Dengan jalan itu, orang-orang Bali secara umum menjadi pribadi yang lebih tangguh secara sosial ekonomi. Sekecil apa pun penghasilan mereka. Mereka secara sungguh-sungguh menjaga keseimbangan tiga hubungan: pada Yang di Atas, pada sesama manusia, juga pada alam. Mereka tak akan semena-mena pada alam karena meyakini bahwa sebagai ciptaan Dewata, alam juga punya jiwa. Bukankah itu konsep hablum minallah, hablum minannas, hablum minal 'alam yang sudah sangat kita kenal?

Kecuali bagi sangat sedikit yang merasa menjadi karma dan dharmanya, orang-orang Bali tak akan menjadikan "tangannya di bawah". Perbuatan yang jelas rendah, tapi banyak tokoh agama kita pun merasa tak bersalah menikmatinya. Orang-orang Bali umumnya juga membaktikan diri buat kepentingan bersama. Nilai-nilai seperti itu dijaga, dipelihara, dan disosialisasikan melalui lembaga-lembaga adat di setiap banjar. "Orang datang ke Bali bukan karena keindahan alam dan pantainya. Alam dan pantai Bali biasa saja. Nilai-nilai budayalah yang menjadi kekuatan Bali." Masyarakat Bali relatif lebih makmur dibanding masyarakat manapun di negeri ini karena lebih teguh berpijak pada nilai-nilainya sendiri.

Di remang malam di Jimbaran pelajaran itu saya dapatkan. Tak ada masyarakat dan bangsa tangguh tanpa berlandaskan nilai-nilai kuat. Thailand, misalnya, sebagai bangsa kini semakin meninggalkan kita dalam kemakmuran karena berpijak pada nilai-nilai budaya yang kokoh. Kerajaan bukan sekadar memuncaki kepemimpinan. Di sana, kerajaan juga mengawal nilai-nilai budaya dalam pemahaman yang dapat disosialisasikan, dalam keteladanan, juga dalam pembiasaan. Nilai-nilai itu terus ditanamkan sejak dini. Antara lain, melalui pengajaran cerita-cerita 'Panji dari Jawa' yang hingga kini masih menjadi pengajaran wajib sekolah di Thailand. Di tanah asalnya, di Jawa, cerita-cerita Panji sudah mati. Apalagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Azyumardi Azra benar saat menyebut 'identitas bangsa' sebagai kunci kebangkitan nasional. Identitas bangsa itu tentu bukan sekadar identitas permukaan, melainkan perwujudan dari nilai-nilai pembangun karakter yang terpegang teguh. Karakter itulah yang melejitkan Cina dan India sekarang. Di sini, pada bangsa kita ini, karakter itu begitu cair. Tanpa bentuk. Nilai-nilai spiritualitas dan budaya telah rusak tertindih pragmatisme pengagung kebendaan. Hanya yang nilai kebendaan serta hal yang dapat diukur yang berharga. Sedangkan nilai-nilai kualitas seolah bukan hal yang berharga, dan serahkan pada masing-masing.

Penindasan nilai-nilai kualitas oleh nilai-nilai kuantitas bahkan terjadi di kalangan yang semestinya menjadi pembimbing masyarakat. Kalangan agama, pendidikan, dan kesehatan misalnya. Agama telah terkerdilkan menjadi sekadar syariah dalam arti hukum. Pendidikan telah menjadi sekadar pengajaran pengetahuan, tanpa 'keteladanan' (modeling) dan 'pembiasaan' (conditioning). Kesehatan menjadi sekadar pengobatan. Padahal, sebenarnya, pengobatan cuma bagian kecil dari kesehatan secara utuh. Penurunan nilai-nilai akibat pemaksaan agar semua dapat terukur menimbulkan akibat panjang. Korupsi, penjarahan alam, penyalahgunaan kekuasaan adalah produk pengagungan nilai-nilai kebendaan dan yang serbaterukur.

Sudah terlalu lama kita mengabaikan nilai-nilai hakiki yang tak terukur seperti keyakinan, ketulusan, keteguhan, keberanian, hingga penghargaan pada sesama. Nilai-nilai spiritualitas dan budaya bangsa ini bukan semakin terbangun, melainkan semakin melemah. Lemahnya nilai-nilai inilah persoalan utama bangsa ini. Jika nilai-nilai itu kuat, masalah dinaikkan atau tidak harga BBM hanya persoalan teknis belaka. Bangsa ini akan tetap menjadi bangsa yang kuat. Sebaliknya, jika nilai-nilai pembangun karakter itu lemah seperti sekarang, hanya nestapa akan menyambut bangsa ini di hari-hari mendatang.

Di Jimbaran, Bali, menjelang seabad Kebangkitan Nasional, saya teringatkan pada hal mendasar ini. (Zaim Uchrowi )

Solusi Bangsa

Harapanku pupus. Saya baru mulai yakin akan dapat membangun masa depan lebih baik. Ternyata harga minyak sekarang dinaikkan, harga pangan juga sudah sangat mahal.

Pesan singkat lewat telepon genggam itu masuk pada Subuh beberapa hari lalu. Pengirimnya seorang ayah muda dengan dua anak. Ia sebenarnya cukup ahli dalam urusan komputer. Tapi, ia tak mampu mengaktualisasikan keahliannya. Dalam setahun terakhir ia menganggur. Ia hanya bertopang pada mertua yang masih mampu hidup sederhana dengan mengontrakkan rumah petak. Sebuah ketergantungan yang rapuh. Kemampuan para pengontrak pun semakin menurun di saat-saat ini.

Kita akan kalah bila berpikir kalah. Kalau mau menang, mari berpikir menang sesulit apa pun kehidupan yang harus kita hadapi. Penyemangat itu yang mungkin dapat dilakukan buat merespons kegalauannya. Persoalannya: selain memberi motivasi, apa solusi konkret yang dapat ditempuh untuk mengatasi keadaan terpelik yang pernah dihadapi bangsa selama ini? Banyak sosok pemimpin di negeri ini. Tentu masing-masing telah berupaya untuk mencari solusi persoalan ini. Termasuk sosok seorang pemimpin yang saya kenal sejak 1985. Saat ia menjadi figur pengusaha muda yang sukses membangun perumahan rakyat, juga membangun bisnis perikanan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga nelayan.

Tahun 1990, ia memercayai saya untuk membangun koran alternatif yang dapat menampung publik yang tak tersalur oleh media yang ada. Ia yang membeli gedung dan memodali pembangunan sistem. Ia yang selalu antusias membantu para aktivis muda, baik secara finansial maupun dukungan lainnya, untuk tampil menjadi pemimpin-pemimpin bangsa. Didik J Rachbini, Saifulah Yusuf, Anas Urbaningrum, dan banyak pemimpin muda lain akan selalu menyimpan namanya dalam ruang yang khusus di hati. Kecuali bagi kalangan yang mengenalnya secara dekat, sekilas tak ada yang luar biasa darinya. Maka, saat ia memasang iklan besar-besaran yang memuat dirinya sekarang, banyak yang bertanya-tanya. Apa yang ia inginkan? Apakah ia mengincar kursi presiden di pemilihan 2009 mendatang?

Ia menggeleng. Ia menyebut, iklan besar-besaran di peringatan seabad Kebangkitan Nasional ini lebih untuk membangkitkan kesadaran bersama tentang kebangsaan. Masalah kita, disebutnya sangat serius. Hingga kini ia mengaku belum punya solusi atas rumitnya persoalan bangsa. Seorang pemimpin hanya layak maju menjadi presiden bila punya solusi yang jelas atas persoalan bangsa. ''Apa gunanya maju menjadi presiden kalau tak punya solusi jelas atas persoalan bangsa?'' katanya. Bila demikian, presiden tak akan lebih dari sekadar kursi kekuasaan yang tak akan membawa manfaat apa pun buat menyejahterakan rakyat yang hidup susah dan dapat semakin susah.

Sudut pandang itu tidak lazim. Tetapi, ia telah menyampaikan pesan yang sangat penting: Para pemimpin hendaklah tak sibuk berebut kekuasaan politik. Mari sibuk membuat solusi bagi bangsa ini. Dengan begitu, kompetisi kepemimpinan nasional mendatang bukan kompetisi jegal-menjegal, melainkan kompetisi buat memberi solusi kesulitan hidup keluarga muda yang merasa putus harapan itu dan jutaan keluarga miskin Indonesia lainnya. Dengan caranya sendiri, ia mengingatkan semua agar berpacu memberi solusi bagi bangsa ini. Siapa pun pemimpin yang punya solusi terbaik, dialah yang layak menjadi presiden mendatang. (Zaim Uchrowi )