Selasa, 17 Februari 2009

Ketupat Politik


Oleh: Bambang Nuroso (Dosen Program Pascasarjana di Universitas Indonesia)

Ke mana politik ini akan dibawa? Para pemimpin partai dan pemerintahan negara, baik yang ada di cabang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, sibuk memperebutkan irisan ketupat politik, sementara rakyat mengelus dada menonton drama politik ini. Drama politik yang dipertontonkan melalui berbagai media bukan lagi mewakili indra-indra politik yang cerdas, cerdik, dan beretika, melainkan kepongahan politik.

Rangkap jabatan
Tahun 2004, masalah rangkap jabatan ini pernah penulis angkat sebagai keteledoran politik dan kelalaian para pemimpin dalam meletakkan etika dan pembangunan politik. Seorang presiden masih merangkap jabatan sebagai ketua umum partai dan lain-lain. Bayangkan, kepadatan tugas-tugas kenegaraan masih disempatkan dengan memimpin partai. Sistem pemerintahan kita jelas 'presidensial', bukan 'parlementer'.

Lantas, mengapa 'euforia' politik mengedepankan koalisi-koalisi politik yang demikian marak akhir-akhir ini. Sementara itu, pemerintah dan para pemimpin partai seolah-olah tidak tahu bahwa rakyat telantar dari perhatian kesejahteraannya. Benih-benih politik yang ditanam para senior ternyata bukan symptom pembaharuan yang bisa diwariskan kepada generasi muda (politisi). Benih itu bukan benih unggul karena hanya akan membelenggu generasi muda politik dari kesalahan masa lalu dan kini.

Setiap negarawan seharusnya fokus kepada mandat yang diberikan rakyat dan bukan mandat partai. Setiap negarawan berada di wilayah negara dan bukan lagi di wilayah partai. Setiap negarawan itu mengemban amanat rakyat negara dan bukan rakyat partai. Setiap negarawan mewakili semua aspirasi warga negara, bukan di ruang sempit partai. Sehingga, tidak heran, mendiang presiden Soekarno pun sempat mengucapkan kata-kata bijak,my loyality to the party end, when my loyality to the state begin. Jadi, dituntut kecerdasan setiap insan politik atau negarawan untuk mengenal dirinya, kapan ia menjadi bagian organisasi politik dan kapan ia menjadi negarawan.

Bukan lagi figur kenegaraannya diserahkan atau direlakan sebagai belahan-belahan ketupat politik. Kalau suasana yang demikian ini tidak segera dievaluasi dan dicarikan jalan keluarnya, tidak heran kelak kita hanya mampu menghasilkan generasi (politisi) yang mandek. Tanggung jawab para politikus di partai politik sebaiknya mulai menanamkan benih-benih politik yang unggul, bukan belenggu politik. Dituntut kedewasaan berpolitik, kejujuran berpolitik, kecerdasan berpolitik, serta menempatkan etika dan roh politik yang lebih bersifat 'egaliter' dan 'bermartabat'.

Keberanian politik
Setiap negarawan juga dituntut untuk mengubah kebiasaannya agar menjadi baik. Seorang negarawan bukan saja berucap sumpah, tetapi sekaligus dituntut keberaniannya untuk mengambil risiko mati dan lain-lainnya. Seorang negarawan dibayar mahal oleh rakyat dan dilindungi konstitusi agar melakukan sesuatu untuk rakyat dan negaranya. Abraham Lincoln mengatakan, from the people, by the people, and for the people. Kemajuan demokrasi di Indonesia saat ini memberikan kesempatan presiden dan wakil presiden untuk dipilih oleh rakyat negara dan bukan rakyat partai tertentu.

Dengan demikian, tidak ada alasan presiden dan wakil persiden untuk takut karena tidak berkoalisi politik. Jangan-jangan koalisi politik sekadar drama politik yang akan menjebak tokoh-tokoh partai ke dalam pembagian kesejahteraan politik dengan akhir kemelut politik dan anarkisme rakyat. Kegagalan koalisi dapat dibuktikan dengan kurang solidnya Presiden SBY dalam mengendalikan kabinet. Bongkar pasang kabinet karena tarik-menarik kepentingan politik antarpartai politk. Seharusnya, presiden sebagai kepala eksekutif mengambil posisi powerful untuk menyusun kabinet. Keberanian presiden untuk mengatakan 'tidak' soal penyusunan kabinet kepada partai-partai politik karena lebih kepada masalah profesionalisme. Kabinet pelangi yang diusung dengan maksud baik tidak jarang malah berbuah sebaliknya. Di sini, kepala negara tidak usah ragu untuk mewujudkan 'hak prerogatifnya'. Kalau perlu, presiden terpilih diberikan waktu yang cukup untuk memilih anggota kabinetnya.

Ada tradisi bagus di Amerika Serikat ketika presiden terpilih memenangkan pemilu tidak serta-merta dilantik. Ada tenggat sekitar tiga bulan atau seratus hari presiden incumbent dan presiden terpilih untuk mempersiapkan peralihan kekuasaan. Tenggat antara bulan November, Obama terpilih sebagai presiden dan waktu pelantikan pertengahan Januari (20 Januari 2009) adalah tradisi yang baik dan presiden terpilih punya waktu yang cukup untuk memilih para anggota kabinetnya. Bukan hanya dipilih oleh presiden, tetapi para calon anggota kabinet juga dihadapkan ke komisi senat untuk mendapatkan persetujuannya.

Selain akan lebih leluasa dan cermat dalam memilih anggota kabinetnya, presiden juga tidak akan menghabiskan energi karena reshuffle kabinet. Sebab, bongkar pasang anggota kabinet akan mengganggu kinerja presiden. Perubahan tradisi ini juga memerlukan keberanian presiden untuk memulainya dan akan lebih memperbaiki kualitas demokrasi. Tradisi di atas sudah lama berlangsung di Amerika dalam hal pergantian presiden. Keberanian presiden Republik Indonesia untuk mengubah tradisi-tradisi politik yang kurang bermartabat dan tidak dewasa akan sangat dihormati rakyat. Apalagi, setiap 'doktrin presiden' bisa melahirkan dinamika politik yang baik dan yang dapat berakibat langsung terhadap kesejahteraan rakyat.

Ketupat politik tidak lagi menjadi 'antitesis' pembangunan demokrasi, tetapi berubah karena ada keberanian politik dan kesepakatan politik para pemimpin. Ketupat politik bukan lagi menjadi tradisi bagi membagi kekuasaan politik, melainkan menjadi mozaik kemajemukan yang mewakili peradaban berdemokrasi di Indonesia.

1 komentar:

BusinessMan mengatakan...

Selamat malam pak Abi, salam kenal...Kunjung balik ya :-) .Jangan lupa juga keep action..