Selasa, 01 Juli 2008

Bangkit? Dari Apa?

Kebangkitan apa yang sebenarnya kita harapkan terjadi pada bangsa ini? Saya khawatir kita tak tahu, meskipun peringatan besar-besaran Seabad Kebangkitan Nasional telah tergelar.

Bangkit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti 'bangun' (lalu berdiri) atau 'bangun kembali'. Dalam istilah lain, bangkit berarti berdiri kembali setelah terjatuh. Secara heroik, hal itu terlihat pada bangsa ini setelah abad ke-19 bergulir menjadi abad ke-20. Sebagian besar pemimpin bangsa ini, terutama yang berinteraksi dengan pihak luar, merasa bahwa sebagai bangsa kita telah terjatuh. Penjajahan Belanda adalah wujud keterjatuhan kita. Bangsa ini telah tersungkur di kaki penjajah. Bukan tegak sebagai bangsa merdeka yang mampu menentukan langkahnya sendiri untuk mejadi sejahtera.

Pada saat itu, sebagai bangsa, sepertinya kita memiliki perasaan rendah di hadapan bangsa-bangsa lain. Sebuah perasaan yang memicu api kebangkitan di dalam diri para pemimpin saat itu. Api itulah yang disulutkan ke setiap anak bengsa melalui berbagai cara. Mulai dari membuat media, seperti Medan Priayi, hingga membangun gerakan, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Syarikat Dagang Islam. Para tokoh penggerak saat itu meyakini bangsa ini harus bangkit. Bangsa ini harus merdeka. Bangsa ini harus berdiri sejajar dengan yang lain. Kemudian, kita bersepakat tahun 1908 untuk menjadi tonggak kebangkitan itu.

Banyak peristiwa penting yang terjadi pada tahun itu. Berdirinya Budi Utomo yang diprakarsai dr Soetomo, seorang dokter yang religius, dan kawan-kawan menjadi salah satu tonggaknya. Tahun itu pula, banyak tokoh besar yang kemudian mengukir sejarah kebangsaan Indonesia juga dilahirkan. Di antaranya adalah Buya Hamka dan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada 1908 pula, sebuah komisi untuk mendidik rakyat dibentuk. Komisi yang lalu menjadi Balai Pustaka inipun berkembang sebagai media efektif untuk membangkitkan kesadaran berbangsa. Kesadaran yang berbuah pada Sumpah Pemuda 1928, kemudian Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Bangkit hanya akan terjadi ketika kita merasa terjatuh. Dalam Perang Dunia II, Jenderal MacArthur berhasil memenangkan Amerika atas Jepang setelah ia merasa 'sakit' karena markasnya di Filipina dihancurkan. Korea Selatan kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi penting di dunia setelah merasa sakit atas krisis ekonomi yang disebutnya sebagai 'Krisis IMF'.

Sebuah krisis yang di sini disebut Krisis Moneter. Akbar Tanjung membangkitkan Golkar karena ia tak rela bila partai yang membesarkannya menjadi bulan-bulanan politik pasca-Reformasi. Grup Bakrie bangkit menjadi grup bisnis yang kuat setelah Nirwan Bakrie pontang-panting menyelamatkannya dari kebangkrutan dalam krisis 1997. Sekarang, saya dan kawan-kawan juga bekerja keras membangkitkan Balai Pustaka yang mengalami keterpurukan terdalam sepanjang sejarah.

Pertanyaan yang mengemuka, apakah sebagai bangsa saat ini kita merasa terpuruk? Apakah kita merasa rendah di hadapan bangsa lain? Ataukah kita merasa biasa-biasa saja?

Saat ini, kita tengah berhadapan dengan keadaan yang sangat sulit. Krisis energi, kehancuran lingkungan, krisis kependudukan, hingga krisis pangan adalah persoalan nyata, dalam krisis energi misalnya. Kita baru berkutat mencari solusi yang aman secara teknis ekonomis dan politis. Jauh dari solusi total tentang energi masa depan. Dalam ekonomi, kita baru sebatas menjaga stabilitas makro. Belum membangkitkan ekonomi riil. Dalam berdemokrasi, mengelola pemerintahan, hingga memberantas korupsi juga baru sebatas legal formal. Belum menukik ke substansi. Sebuah kondisi sangat rawan yang seharusnya membuat kita merasa 'jatuh' dan bertekad mengubahnya.

Tapi, tampaknya, sekarang kita tak merasa tengah terjatuh. Kian beratnya beban hidup masyarakat bawah tak membuat mereka merasa perlu untuk bangkit. Mereka sudah terbiasa pasrah. "Nasib," begitu kata mereka. Jalani saja meski dengan luluh lunglai. Sebuah sikap hasil pengajaran agama yang menyesatkan. Juga, hasil pelestarian kultur feodal oleh para pemimpinnya. Bagi kita yang lebih berada, apa yang membuat merasa terjatuh dan harus bangkit.

Kalangan elite negeri ini hidup sangat berkecukupan. Jabatan publik dan politik telah memberi kemakmuran luar biasa pada banyak pribadi di negeri ini. Mereka puas pada keadaannya sendiri. Kebangkitan macam apa yang dapat kita bayangkan ketika peduli hanya sebatas kata-kata?

Kita tak mungkin bangkit bila tak tahu harus bangkit dari apa dan hendak menjadi apa. Kita tampaknya tenang-tenang saja. Padahal, cobalah cari tahu dari pandangan paling jujur orang-orang Singapura: Bangsa Melayu ini adalah bangsa rendah. Malas dan kebanyakan pemimpinnya korup serta mementingkan diri sendiri saja. Bukan rakyat. Jika tak ingin dipandang rendah, dan faktanya memang rendah, mari bangun dari posisi rendah itu. Mari bangkit! Mari singkirkan sikap gampang menyerah pada nasib, korup, dan feodal! Mulai dari diri sendiri, mulai sekarang! (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: