Selasa, 01 Juli 2008

Politik Kasual

Sudah lama rasanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak tampil khusus dalam wawancara televisi. Tapi, sekitar dua pekan silam SBY, begitu kita biasa menyebut namanya, muncul. Di kesempatan itu, SBY tak menutupi pandangannya tentang kompetisi dalam pemilihan presiden 2009 nanti.

Pemunculan seorang politisi dalam wawancara televisi semestinya memang soal biasa. Tapi, dalam budaya politik kita, yang banyak dipengaruhi budaya politik feodal Jawa, seorang kepala negara seolah tabu untuk dimunculkan seperti itu. Pemimpin harus dijaga untuk tetap mempunyai 'jarak' dengan masyarakatnya. Dengan begitu aura dan kharisma sang pemimpin akan tetap terpelihara. Itu dipercaya sebagai salah satu hal terpenting untuk menjaga kepemimpinan.

Dengan muncul di TV dan berbicara apa adanya tentang pandangannya sendiri, SBY seperti menabrak tabu tersebut. Untuk memperkuat iklim masyarakat madani yang perlahan semakin tumbuh, itu langkah baik. Dengan cara itu, masyarakat akan memahami bahwa jabatan presiden hanyalah sebuah tugas. Jabatan presiden bukan sebuah kemuliaan khusus di hadapan Tuhan seperti dianggapkan pada raja-raja dulu. Dengan cara pandang baru tersebut, presiden akan ditempatkan pada posisi yang lebih pas dibanding dengan menggunakan paradigma lama.

Pemunculan SBY di televisi menjadi salah satu indikasi perubahan wajah politik Indonesia. Hingga beberapa tahun silam, mungkin karena pengaruh Orde Baru, politik terasa sebagai hal yang 'serius-formal'. Seolah politik tak mungkin dipahami, apalagi digeluti, masyarakat kebanyakan. Kesan kaku politik seperti itu terasa semakin mencair hari-hari belakangan ini. Politik menjadi semakin terasa kasual, hal biasa untuk menjadi bahan percakapan harian. Para tokoh politik juga tak lagi malu-malu memunculkan diri agar diperhitungkan menjadi salah satu alternatif kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Wiranto, misalnya. Sudah sejak tahun lalu, saat membentuk Partai Hanura, wajahnya mulai terpampang di mana-mana. Ia mengangkat isu kemiskinan sebagai slogan perjuangannya, dan secara frontal langsung menyerang kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM. Prabowo kemudian tampil di layar televisi, mengangkat isu kepentingan petani. Lalu, memanfaatkan momentum Hari Kebangkitan Nasional, giliran Soetrisno Bachir pun muncul secara gencar dengan mengusung seruan 'hidup adalah perbuatan'.

Pemunculan di publik melalui media tersebut mendekatkan para tokoh pada masyarakat luas. Hal itu akan membuat publik lebih mengenal para tokoh yang mungkin akan menjadi pemimpin masa depan. Masyarakat mulai dapat menimang siapa yang mungkin akan didukungnya nanti dalam pemilihan presiden. Sejumlah nama kini telah ada di tangan mereka.

SBY tentu salah satu kandidat yang akan tampil selain mungkin Jusuf Kalla. Dari 'kelompok tengah' mulai disebut-sebut pula nama Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo dari sayap keluarga militer. Sedangkan dari sipil ada nama Hamengkubuwono X, Akbar Tanjung, dan Soetrisno Bachir. Dari sayap Islam setidaknya ada tiga nama yang diharapkan pendukungnya untuk maju sebagai kandidat, yakni Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Hidayat Nurwahid. Sedangkan dari sayap nasionalis-marhaen, Megawati sebagai kandidat utama untuk maju. Dari semua nama itu, Hidayat Nurwahid, Soetrisno Bachir, dan Prabowo yang terbilang muda yang tentu sedikit banyak akan memanfaatkan 'demam Obama' dalam kompetisi politik kita nanti.

Menganalisis kemungkinan politik seperti itu bukan lagi monopoli para akademisi. Itu juga telah menjadi keseharian masyarakat umum. Iklim demikian akan mendorong politik menjadi lebih bermanfaat bagi publik. Juga menghindarkan dari ketegangan yang tidak perlu yang dulu sering terjadi. Jadi, mari syukuri iklim politik yang kian kasual ini. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: