Selasa, 01 Juli 2008

SBY dan BLT

Meluncurlah ke Pacitan, tempat asal Presiden SBY. Dari arah Ponorogo, perjalanan akan melalui jalur meliuk yang terjepit tebing batu cadas terjal di satu sisi dengan ngarai curam di sisi lainnya. Di saat matahari berada di puncaknya, alam terasa garang. Kegarangan yang sulit dicari bandingnya di tempat lain di negeri ini. Kegarangan yang juga menyembulkan romantisme kental, terutama setelah matahari bergeser ke barat, mendekati tenggelam.

Ruas jalan itu mengingatkan pada celah Khyber, jalur penghubung Pakistan-Afghan. Tentu pada tingkat miniaturnya. Setelah beberapa kilometer jalur itu terlewati, tebing pun melandai. Dasar sungai pun naik memperlihatkan miliaran batu yang dimilikinya serta airnya yang mengalir di sela-sela bebatuan itu. Alur sungai akan terus menemani perjalanan sebelum kemudian sampai di kota, dan menuju ke arah pantai tempat air laut secara ritmis membasuh pasir di hadapan teluk tenang itu.

Di ruas sebelum jalan benar-benar melandai, hampir di setiap tikungan di kiri jalan, umumnya terlihat tumpukan kecil pecahan batu. Satu-dua orang dengan tubuh kering dan kulit legam terbakar matahari duduk di dekatnya. Topi atau peneduh kecil yang dibuat untuk melindungi dari panas, tak sepenuhnya membantu. Kebanyakan mereka wanita, sebagian bahkan terlihat begitu renta. Ketika para lelaki mengangkat batu-batu itu dari kali, tangan-tangan mungil dan keriput menggenggam palu memukuli batu-batu hingga memjadi pecahan kecil, buat membangun jalan dan campuran beton.

''Ya, Allah! Di zaman sekarang yang sudah begitu maju, masih kusaksikan dengan mataku sendiri perempuan-perempuan tua yang harus hidup dengan menggunakan tangannya untuk memecahkan batu.'' Tak mudah membebaskan mereka dari jeratan keadaan itu. Bahkan, bagi SBY sekalipun yang tentu sangat tahu keadaan itu. Garangnya keadaan telah menempa para wanita tua itu menjadi begitu tekun, ulet, dan pasrah. Ketekunan, keuletan, dan kepasrahan pantas mendapat imbalan. Tak hanya kelak di akhirat, melainkan juga semestinya di dunia.

Begitu berat beban kehidupan yang harus mereka pikul. Maka, sedikit uluran berupa dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diputuskan SBY tentu berarti. Setidaknya, bantuan itu dapat menjadi seperti seteguk air saat mereka bekerja keras memecah batu di terik siang. SBY memahami itu, maka ia teguh hati memutuskan untuk tetap menyalurkan BLT.

Suara tidak sependapat tentu ada. Terutama justru dari kalangan yang selama ini aktif dalam upaya memberdayakan masyarakat. Dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat, pemberian uang secara langsung seperti BLT hanya akan melemahkan mental. Membuat terbiasa bergantung hingga dapat menjadi manusia peminta. Itu dipandang memiskinkan jiwa. Sedangkan miskin jiwa lebih berbahaya dibanding miskin materi karena akan terus menjerat pengidapnya dalam kemiskinan total.

''Mengapa BLT tak diganti dengan penyediaan kerja massal sehingga orang-orang miskin dapat bekerja dan memperoleh upah? Mengapa tidak diganti dengan kupon untuk membeli bahan pokok secara murah agar uangnya tak dipakai buat beli rokok?'' Suara-suara demikian tentu telah sampai pada SBY. Tapi, berdasar logika politik yang dibenarkan oleh logika ekonomi makro, apalagi yang dapat dilakukan untuk mengimbangi penaikan harga BBM sekarang ini selain segera mewujudkan BLT?

Kemiskinan bukan sekadar persoalan ekonomi dan, apalagi, politik. Persoalan kemiskinan menyangkut pula soal kultural dan sikap mental. Sikap mental kerja keras, tak suka jalan pintas, serta menjunjung integritas. Itu yang ada di balik langkah Park Chung-hee di Korea Selatan di balik program Saemaul Undong-nya. Pemimpin yang hidup sangat sederhana hingga akhir usianya itu berhasil membabat kemiskinan di sana, dan membangkitkan bangsa menjadi salah satu kekuatan ekonomi penting dunia. Transformasi mental dan kultural itu pula yang saya yakini sebagai kunci utama untuk menghancurkan kemiskinan. Itu yang saya yakini sejak 1993 intensif mendalami pemberdayaan masyarakat, baik lewat studi maupun sebagai relawan yang berkeliling ke berbagai daerah termasuk Pacitan.

SBY tentu paham kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi. Tak cukup dengan kucuran BLT, bahkan dengan kredit mikro. Kehebatan Grameen Bank dan BRAC di Bangladesh selama 20-an tahun pun terbukti tak mengangkat bangsa itu keluar dari kemiskinan. Bangladesh tertinggal jauh dibanding Vietnam yang tak punya Grameen. Untuk mengatasi kemiskinan perlu upaya lebih mendasar selain sekadar skema ekonomi. Langkah mendasar yang, mudah-mudahan, di sisa masa jabatan SBY, masih sempat diluncurkan. Bila terwujud, akan muluslah langkah SBY untuk dipilih menjadi presiden lagi. Juga, bakal sulitlah langkah siapa pun untuk mengambil kursi kepresidenan kecuali mempunyai program pengentasan kemiskinan yang lebih bagus.

BLT, dan juga kucuran kredit mikro, tentu bermanfaat. Namun, sekali lagi, perlu langkah yang lebih mendasar lagi untuk mengatasi kemiskinan. Bila langkah itu terwujud, tak akan ada lagi warga negeri ini yang tak tersenyum. Tak akan ada lagi tangan-tangan renta pemecah batu di kelokan-kelokan jalan menuju Pacitan. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: