Selasa, 01 Juli 2008

Menggempur Kemiskinan (SBY & BLT 2)

Tiga pekan lalu, dalam Resonansi berjudul 'SBY & BLT', saya menulis bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) dapat sejenak mengatasi 'dahaga' jutaan warga miskin. Tapi, saya sebut pula bahwa akan lebih baik bila pemerintah membuat program yang lebih mendasar untuk menggempur kemiskinan dibanding program karitatif begitu.

Rencana pengucuran puluhan triliun rupiah kredit mikro menjelang Pemilihan Presiden 2009 nanti pun menurut saya juga belum cukup mendasar buat mengatasi kemiskinan. Beberapa orang mereaksi tulisan itu. "Kalau bantuan tunai dan kredit mikro belum mendasar untuk mengatasi kemiskinan, lalu apa yang mendasar?"

Kita cenderung menganggap kemiskinan semata sebagai fenomena ekonomi. Maka, solusi ekonomi selalu menjadi pilihan utama. Apalagi, pilihan ini mudah diukur dan gampang populer secara politik. Padahal, sebenarnya, kemiskinan bukan sematan fenomena ekonomi. Ia juga fenomena sistem, bahkan budaya dan mentalitas, yang lebih rumit dicarikan solusi dibanding solusi ekonomi.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan badan dunia UNDP memberi petunjuk jelas. Persoalan kesejahteraan, menurut IPM dan juga filosofi tua Jawa, menyangkut tiga hal. Ketiganya adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Manusia sejahtera adalah manusia yang kenyang, sehat, dan cerdas. "Wareg, waras, wasis," begitu menurut istilah Jawa. Bila ketiganya tak terpenuhi secara semestinya, itulah miskin. Ketiga aspek itulah ukuran puncak piramida kemiskinan, yang dengan mudah dilihat oleh siapa pun.

Namun, piramida tentu bukan hanya puncak. Ada bagian di bawahnya yang menopang puncak tersebut, yang sangat terkait dengan aspek sistem. Di bagian ini, ada aspek lingkungan secara menyeluruh, aspek birokrasi yang diamanahi mengelola negara ini, juga aspek hukum yang harus menjaga tegaknya keadilan agar tak ada ketimpangan yang kian memiskinkan si miskin. Reformasi lembaga hukum, reformasi birokrasi, serta pembangunan lingkungan (alam ataupun fisik), harus dilakukan untuk mengatasi piramida kemiskinan tersebut.

Tak cukup di situ. Piramida juga memiliki bagian dasar yang tertanam di tanah. Dalam piramida kemiskinan, bagian dasar adalah pemahaman keagamaan, budaya yang menjadi pegangan, bahkan karakter mentalitas pribadi bangsa ini. Perlu upaya keras untuk menyentuh aspek-aspek ini. Kantong-kantong kemiskinan yang parah di negeri umumnya justru terdapat di masyarakat yang kental nuansa keagamaan.

Kekerasan bermotif agama pun umumnya tak bebas dari persoalan kemiskinan, meskipun ada hal yang menjadi pemicunya. Budaya feodal dan mistis yang tidak rasional kian mengekalkan kemiskinan. Mentalitas 'mau gampang' atau enggan berusaha keras juga menjerembabkan bangsa ini pada kemiskinan.

Bila sungguh-sungguh ingin menggempur kemiskinan, mari atasi dulu hal-hal mendasar itu. Tanpa menyentuh hal paling mendasar tersebut, upaya menanggulangi kemiskinan hanya akan tampak bagus secara politis, namun tak akan sampai tujuan. Mudah-mudahan, di sisa masa jabatan sekarang, SBY-JK masih sempat menyentuh sisi paling mendasar dari piramida kemiskinan itu. Para pemimpin lain yang ingin membangun negeri ini semestinya juga memfokuskan diri untuk mengatasi hal mendasar itu. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: