Selasa, 01 Juli 2008

Nasib Bayi Kita

Tahukah kita bahwa sekitar 10 juta bayi meninggal saban tahun? Tahukah bahwa di Asia Tenggara kita adalah penyumbang kematian terbesar itu? Bukan hanya karena jumlah penduduknya paling banyak. Juga karena laju kematian bayi termasuk tertinggi di antara negara-negara tetangga ini. Jika ingin tahu lebih lanjut, tanyakan pada Margareth Chan. Direktur jenderal badan kesehatan dunia WHO itu akan dapat memperjelas apa yang terjadi.

Sebenarnya, persoalan ini sangat jelas. Yang paling banyak membunuh bayi adalah infeksi saluran pencernaan. Penyebabnya apalagi kalau bukan terkait dengan 'makanan' yang masuk ke dalam saluran itu. Hal yang mudah sekali diatasi. Ajaran agama, kearifan tradisi, hingga ilmu kesehatan mutakhir memberi petunjuk yang sama. Berikan pada bayi HANYA ASI. Air susu ibu.

Insya Allah, bayi bukan hanya selamat. Bayi juga akan tumbuh menjadi manusia yang sehat lahir dan batin. ASI melindungi bayi dari infeksi pencernaan dan juga saluran pernapasan, pembunuh nomor duanya. Di dalam agama, kewajiban memberi ASI pada bayi sejalan dengan kewajiban shalat. Sama-sama perintah Allah SWT, sama-sama disebut langsung dalam Alquran. Keluarga para sahabat Rasul tidak memberikan susu apa pun pada bayinya selain ASI.

Sayangnya, ajaran agama telah sedemikian tereduksi. Yang dianggap sebagai nilai agama sering sebatas yang tercakup oleh ilmu fikih. ASI tentu tak disebut oleh kitab-kitab fikih. Padahal, fikih memang hanya membahas sebuah sisi agama. Yakni sisi hukum, dan bukan sisi lainnya. Maka, tak jarang kita yang merasa menjadi pemeluk teguh agama pun mengabaikan ASI. Apalagi bila kita tak menganggap penting agama. Dominasi pendekatan fikih di dalam agama, serupa dengan dominasi pendekatan medis di kesehatan. Dominasi beginilah yang menutupi keutamaan ASI.

Keutamaan ASI juga ditekankan oleh kearifan tradisi. Sejak bermula kehidupan manusia, proses melahirkan dipandang sebagai proses alami. Meskipun sangat menyakitkan, melahirkan bukan 'penyakit'. Tak perlu tindakan medis apa pun, selain sekadar berjaga-jaga. Maka, ibu akan sabar menunggu berjam-jam setelah bayi lahir buat mendapatkan makanan terbaik bagi sang buah hati: Kolustrum berserta ASI. Bahkan, bila harus menunggu sampai lebih dari 24 jam. Para ibu tak akan pernah mencari-cari makanan lain bagi bayinya. Apalagi, dulu, tak ada tenaga medis yang disuap industri untuk mendesak para ibu yang masih lemah, fisik maupun psikis, agar memberi susu formula pada bayi.

Namun, kearifan tradisi itu dipenggal begitu saja oleh dunia modern. ASI dianggap 'kuno' dan 'kampungan'. Keluarga berpenghasilan pas-pasan pun banyak yang memaksakan diri membeli susu formula buat bayinya. Fenomena yang memicu pemiskinan luar biasa buat mereka. Kita yang lebih berada juga tak merasa bersalah memberi susu formula pada bayi. Kita mengira memberi kebaikan. Padahal sebaliknya. Ilmu kesehatan mutakhir meyakinkan bahwa ASI satu-satunya makanan bayi yang sempurna. Maka, sang bayilah yang harus menanggung akibatnya. Secara fisik ia lebih rentan pada penyakit. Pertumbuhan kejiwaannya pun tidak sempurna. Seorang guru besar psikologi UGM menyebut bahwa setiap anak yang tak memperoleh ASI selama dua tahun saat bayi, perlu terapi. Terapi, itulah yang akan meluruskan ketimpangan pertumbuhan kejiwaan sang anak.

Kini bayi bukan hanya dibikin rentan secara fisik dan psikis karena dijauhkan dari ASI. Bayi juga menjadi tak terlindungi dari infeksi bakteri yang mengontaminasi susu formula. Sebuah hasil penelitian yang dilansir IPB menyebutkan bahwa sekitar 22,73 persen susu formula yang beredar dari bulan April-Juni 2006 tercemar Enterobacter sakazakii. Kendati sudah lampau, temuan ini mengingatkan semua: betapa rawan nasib bayi kita. Betapa lemah perlindungan buat mereka. Bayi tentu belum mampu melindungi dirinya sendiri.

Mencari-cari yang mungkin salah dari penelitian itu bukanlah langkah tepat. Yang lebih perlu, dan terpenting, di urusan ini adalah bagaimana melindungi bayi. Bila perlu dengan meluruskan kembali cara pandang diri soal agama dan kesehatan. Agama bukan semata-mata fikih, dan kesehatan bukan semata medis. Dengan pelurusan itu akan terlihat betapa penting posisi ASI bagi bayi. Memberi ASI pada bayi adalah bagian mendasar dari agama dan kesehatan. Maka mari selamatkan nasib bayi kita dengan memberi bayi hanya ASI. Mari kembalikan bayi pada zat hidup satu-satunya makanan sempurnanya. Itu yang akan menjaga masa-masa emas pertumbuhan fisik, otak, serta jiwa bayi-bayi kita. Itu yang akan menumbuhkan mereka menjadi generasi emas.

Ibu Negara, Ibu Ani Yudhoyono, sangat meyakini itu. Keyakinan yang mencuatkan tekadnya untuk terus mempromosikan ASI. Semestinya keyakinan dan tekad serupa dimiliki oleh semua pihak. Oleh otoritas kesehatan, juga oleh masyarakat luas. Jika itu terjadi, kita akan segera menuai hasilnya. Bangsa ini akan dapat segera memasuki era emasnya. (Zaim Uchrowi )


Kamis, 28 Februari 2008

Tidak ada komentar: