Selasa, 01 Juli 2008

FPI

"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah) dan nasihat (pelajaran) yang baik..." (QS 16:125). Sehabis Shalat Subuh itu, seorang jamaah maju untuk menyampaikan 'kultum'-nya. Setelah mengucap salam, ia termangu sejenak. "Saya bingung, bagaimana kita umat Islam harus menyikapi," ucapnya. Ia menunjuk peristiwa Ahad lalu saat massa Laskar Pembela Islam, organisasi sayap Front Pembela Islam (FPI), menyerang kelompok Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Ia tahu, AKKBB tengah memperjuangkan Ahmadiyah, kelompok yang ajarannya menyimpang dari ajaran dasar Islam.

Sikap penyaji 'kultum' itu sangat jelas: Ahmadiyah bukan Islam. Dari sudut pandang keyakinan dasar Islam, ajaran Ahmadiyah merupakan penodaan. Sedangkan, penodaan tidak dapat dibiarkan. Tidak ada kebebasan yang dapat ditoleransi untuk melakukan penodaan. Karena itu, menurutnya, Ahmadiyah harus dilarang. Para pemeluknya harus dibina untuk dapat menganut Islam secara baik. Lain soal bila mereka menyatakan bukan Islam dan mengaku sebagai pemeluk agama Ahmadiyah.

Walaupun setuju pelarangan Ahmadiyah, pembicara itu mengaku terguncang melihat tayangan TV itu. Sebuah tayangan yang menunjukkan massa FPI memukuli para pendukung AKKBB yang membela Ahmadiyah. "Bukan begitu akhlak Islam," ungkapnya. Kekerasaan semacam itu ia yakini justru menodai kesucian dan keluhuran ajaran Islam. Sebuah agama yang secara bahasa pun berarti 'selamat' atau 'damai'.

Tampaknya, pikiran pembicara itu berkecamuk. Bila tindakan massanya juga menodai nilai-nilai Islam, bukankah FPI juga sepantasnya dilarang? Tapi, bila FPI dilarang, bukankah itu berarti kekalahan politik umat Islam? Bukankah umat Islam di Indonesia saat ini tengah berjuang habis-habisan menghadapi gempuran ideologis dari kaum liberalis?

Saya mencoba mengunyah kegalauan pembicara itu. Mungkin, bangsa ini memang akan lebih damai bila tanpa Ahmadiyah dan FPI. Akan sangat baik bila masing-masing sukarela membubarkan diri. Kalau enggan melakukan itu, pemerintah--bila cukup alasan hukum--dapat membubarkannya secara baik. Kalau ada keberatan, ada saluran hukum untuk menyatakannya. Negara memang tak boleh mengatur keyakinan pribadi. Namun, negara wajib mengatur perilaku sosial, meskipun perilaku itu berdasar keyakinan pribadi.

Belum tuntas saya mencerna soal itu, sesepuh masjid bicara, "Kita umat Islam ini jumlahnya banyak. Dibanding umat lain, kita miskin dan bodoh. Apalagi yang dipunyai kalau bukan emosi." Sepertinya, ia menunjuk massa FPI yang tampak beringas saat merasa menegakkan kebenaran. Keberingasan yang tak terjadi di masa Rasulullah SAW.

Di zaman Nabi, kaum Yahudi yang berkhianat pun tak dipukuli, melainkan diatasi dengan hukum. Ali, dalam perang, juga memilih menyarungkan pedang saat merasa dirinya emosi. Ia tahu persis, Islam tidak dapat ditegakkan dengan kemarahan.

Tak mudah tentu bagi massa buat memahami prinsip begitu. Terus tertekan oleh keadaan yang dianggap semakin tak benar, juga terpinggirkan oleh pusaran peradaban, memang gampang membuat gamang. Kegamangan yang mendorong untuk segera mencari pegangan.

Orang-orang Ahmadiyah mendapatkannya dari Ghulam Ahmad. Massa FPI dari Rizieq Shihab. Kita cenderung merasa nyaman berada di tengah kerumuman. Kita merasa itu tuntunan agama untuk berjamaah secara benar.

Kita sering kali lupa bahwa para nabi telah mengajari pemeluk Tauhid sejati yang akan meraih bahagia duniawi dan ukhrawi adalah orang-orang merdeka dan mandiri karena bergantung langsung pada Ilahi. Orang-orang demikian adalah para petarung kehidupan yang gigih dan sabar, yang akan memperoleh surga (QS 3:142). Juga, orang-orang yang berada dalam situasi apa pun akan dihadapinya dengan bersyukur, dengan syukurnya akan memperoleh tambahan nikmat (QS 14:7).

Sebagian kita lebih menikmati menjadi bagian dari kerumuman massa yang gampang dikerahkan dan dimobilisasi. Juga, gampang diprovokasi dan rawan ditunggangi. Termasuk, kabarnya, oleh sebagian kalangan keamanan sendiri. Fenomena FPI menyadarkan, masih jauh perjalanan umat ini untuk menjadi penganut ajaran Tauhid sejati yang siap menghadapi setiap persoalan secara bijaksana dan baik sesuai tuntunan Ilahi. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: