Selasa, 01 Juli 2008

Syukur dan Senyum

Saban hari saya bertemu orang-orang luar biasa. Orang-orang yang menjalani hidup sangat berat, namun selalu tampak antusias. Seorang office man, misalnya, harus menempuh perjalanan yang panjang untuk sampai kantor. Rumahnya di Cikampek, sekitar 70 km dari Jakarta. Dari Cikampek pun masih ke timur lagi, yakni di Jatisasi.

Pagi-pagi benar ia harus mengejar kereta api di Stasiun Cikampek, berjejalan dengan para pelaju lainnya dalam pepat gerbong, menuju Stasiun Senen, Jakarta. Baru kemudian berjalan kaki ke kantor. Yang lainnya harus naik bus dari Parungkuda, Sukabumi, setiap hari ke Jakarta. Di Perungkuda pun, rumahnya masih beberapa kilometer lagi masuk ke dalam.

Sosok-sosok itu seperti tak tampak lelah setiba di kantor. Wajahnya selalu berbinar. Senyumnya juga gampang mengembang. Padahal penghasilan mereka, sebagaimana rekan-rekan sejawatnya dan juga kawan seperjalanannya di bus maupun kereta api, sangat pas-pasan. Kadang, mereka juga baru dapat meninggalkan kantor setelah matahari terbenam.

Lalu, tiba di rumah saat anak-anak telah tertidur, dan sang istri juga telah begitu lelah. Bukan hanya karena harus menanggung pekerjaan rumah sendirian, namun juga pusing memutar otak mengatur belanja saat harga-harga naik seperti sekarang. Mereka terus bekerja dan bekerja. Mereka yakin kerja kerasnya akan diganjar Sang Khalik bukan hanya di akhirat kelak. Juga di dunia sekarang. Walaupun mungkin imbalan itu bukan diperoleh lewat kantornya, melainkan lewat jalan lainnya.

Di hari-hari seperti sekarang, saat berita di surat-surat kabar hingga televisi didominasi oleh nuansa muram, 'virus positif' yang dimiliki orang-orang itu perlu disebarluaskan. Siapa bilang orang-orang itu tak menghadapi kehidupan yang berat. Siapa bilang mereka tak ikut merasakan dampak melonjaknya harga minyak dunia. Siapa bilang mereka tak kesulitan berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak-anaknya sekolah. Banyak orang lain akan menggerutu, marah pada keadaan, atau setidaknya bingung. Tetapi, mereka tidak. Mereka terus berbuat, berbuat, dan berbuat.

Pesimisme menghadapi keadaan, di hari-hari sekarang, sangat dapat dimengerti. Setelah krisis moneter 1997, secara berangsur perekonomian masyarakat memang bangkit. Namun, belum sampai pada tahap yang aman. Ekonomi negara belum menemukan format yang pas untuk membangkitkan sektor riil. Fenomena pengangguran masih sangat besar. Di tengah keadaan demikian, bencana terus mendera. Struktur ekonomi dunia juga goyah, terutama karena terkait dengan krisis energi. Di waktu terdahulu kita memang pernah menghadapi masa-masa sulit. Tetapi, saat itu, sumber daya alam yang kita miliki belum sekritis saat ini. Maka, dapat dikatakan, belum pernah kita menghadapi tantangan yang seberat saat ini dalam perekonomian bangsa.

Mengeluh atau menghambur-hamburkan kritik sama sekali bukan jawaban. Apalagi, seberapa pun besar kesulitan yang ada, nikmat yang kita peroleh tak ada batasnya. Maka, tentu bukan kejengkelan atau keputusasaan yang tepat buat menyikapi keadaan ini. Justru syukurlah yang perlu kita perlukan. Seberapa pun sulit dan berat beban hidup ini, syukur akan mempermudah dan meringankannya. Setiap kesulitan didesain khusus untuk diri kita masing-masing. Maka, kita perlu berterima kasih, dan bukan mengeluh, atas kesulitan itu. Justru kesulitan itulah yang akan mengantarkan kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan juga lebih sukses.

Dahlan Iskan, CEO dan pemilik grup Jawa Pos, menyebut bahwa ekspresi syukur yang paling baik adalah dengan bekerja keras. Ia melakukan itu. Tanpa menunggu waktu, begitu tuntas menjalani transplantasi hati (operasi yang menewaskan Nurcholish Madjid), ia kembali bekerja keras. Sering bahkan lebih keras dibanding sebelum levernya bermasalah. Orang-orang hebat di sekitar saya, sepert yang dari Cikampek dan Parungkuda, itu juga bersyukur dengan cara bekerja keras.

Alangkah baiknya jika kita semua juga bersyukur dengan bekerja keras, seperti mereka. Tak punya pekerjaan? Tak soal yang penting terus berbuat, berbuat, dan berbuat. Insya Allah kita semua akan menjadi manusia tersenyum. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tersenyum, setelah sebelumnya bersyukur dengan bekerja keras. Dengan jalan itulah berkah akan datang: negeri ini akan aman sentosa.
(Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: