Selasa, 01 Juli 2008

Sejuk

Pertengahan tahun di negeri kita ini adalah saat-saat memasuki musim kemarau. Udara biasa memanas. Kekeringan mulai terjadi. Lahan persawahan di beberapa daerah dikabarkan mengering. Perjalanan tongkang pengangkut batu bara di Sungai Barito juga mulai terganggu.

Namun, di tengah pergeseran musim itu, kesejukan ternyata belum hilang. Di Jakarta pada beberapa pagi terakhir ini, udara masih terasa sejuk. Segar buat dinikmati dengan berjalan kaki sebelum sibuk dengan urusan kerja sepanjang hari. Kesejukan begini yang kita harapkan ada di seluruh negeri ini. Baik pada alam maupun pada suasana kehidupan sosial politik masyarakat. Persoalan Ahmadiyah dan FPI hingga dua pekan silam sempat dikhawatirkan membuat gerah suasana. Namun, kali ini, pemerintah melangkah tepat. Alhamdulillah, tak ada gejolak. Kesejukan suasana tetap terjaga.

Tak mudah menangani soal Ahmadiyah. Sejak kerusuhan di Bogor beberapa tahun silam, urusan ini seperti menjadi bola panas. Saat itu, jamaah Ahmadiyah menggelar pertemuan nasional di sebuah pesantren. Sebagian masyarakat sekitar keberatan. Sebagian kalangan Ahmadiyah tak ingin berendah hati: memaksa melangsungkan pertemuan karena merasa itu haknya. Di kalangan yang menolak, muncul pula sosok-sosok yang memperkeras bentuk penolakan. Itu kesempatan beraktualisasi untuk menjadi tokoh massa 'penjaga kemurnian Islam'. Perang batu terjadi. Media mendapat liputan seru buat pembacanya.

Usai peristiwa itu, diam-diam semua menggalang kekuatan. Para 'pembela Islam' yang percaya pada kekuatan pengerahan massa untuk 'perjuangan'-nya mulai membidik Ahmadiyah sebagai sasaran itu. Menurut sejumlah kriteria, Ahmadiyah adalah sasaran yang bagus. Konsep kenabian pada Ahmadiyah menyimpang dari ajaran baku Islam. Ahmadiyah juga mulai dijadikan ujung tombak 'perjuangan' pengusung liberal.

Kalangan Ahmadiyah juga semakin percaya diri karena kian banyak tokoh publik siap pasang badan. Tentu, juga mengatasnamakan kebenaran. Maka, sempurnalah Ahmadiyah sebagai sasaran. Apalagi, sudah agak lama para 'pembela Islam' tidak punya musuh jelas. Sedangkan, musuh jelas, menurut logika politik, wajib dipunyai buat menjaga eksistensi diri. Lalu, terjadilah kekerasan di lapangan Monas hari itu.

Sikap sebagian besar umat Islam dalam urusan ini cukup jelas. Kalangan yang bertekun untuk berjamaah di masjid dan mengaji saban hari percaya bahwa ajaran Ahmadiyah keliru. Namun, para penganut Ahmadiyah tetap harus diperlakukan secara baik. Di tengah ingar-bingar suasana, pandangan demikian terkubur oleh dua sisi ekstrem yang vokal. Seolah tidak ada pilihan selain menyerang habis atau membela habis.

Syukurlah, pada akhirnya, suara mayoritas yang sunyi itu yang lebih dijadikan dasar pemerintah buat mengambil keputusan. Pak Maftuh bersama Pak ... dan Pak ... menyatakan bahwa penyebaran ajaran Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran dasar Islam itu dilarang. Sebaliknya, polisi juga menindak secara hukum mereka yang menyerang massa AKKBB, kelompok pendukung Ahmadiyah. Langkah pemerintah tersebut secara umum menenteramkam.

Intelektual muslim yang santun, Mas Syafii Anwar, menyatakan bahwa citra positif umat Islam Indonesia sebagai umat yang moderat di mata dunia lenyap karena insiden lapangan Monas itu. Pandangan itu dapat dipahami karena ia korban langsung kekerasan tersebut. Pepatah lama juga menyebut 'nila setitik rusak susu sebelanga'. Tapi, suasana di masyarakat setelah pemerintah mengambil sikap jelas ternyata cukup damai.

Tekanan hidup, ketidakjelasan masa depan, dan/atau merasa menjadi korban ketidakadilan memang mendorong sebagian umat menjadi pemberang. Namun, mayoritas umat ini tetaplah umat yang santun, menghargai perbedaan, dan memercayai petunjuk Nabi Muhammad SAW bahwa tidak ada kebaikan seseorang bila tanpa kelembutan. Umat Islam di negara ini pada dasarnya tetaplah umat yang menyukai serta penyebar kesejukan. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: