Selasa, 01 Juli 2008

Sebutir Kedelai

Samar peristiwa itu terbayang. Di bawah pohon jeruk, di tengah pekarangan yang terasa luas, kami tiga balita menikmati kedelai yang di-'sangrai'. Entah mengapa, seorang diantaranya memasukkan sebutir kedelai ke telinga saya. Berbagai hal dilakukan buat mengeluarkan kedelai itu, namun sia-sia. Semua bingung, maka ke rumah sakitlah pilihannya. Masa itu, urusan begitu saja perlu pembiusan. Saya dibaringkan, hidung ditangkupi sebuah alat yang mungkin menghembuskan 'khloroform' sebagai pembius paling klasik.

Tubuh terasa melemah. Segala sesuatu terlihat biru, sampai kemudian gelap sama sekali. Beberapa waktu kemudian, perlahan mulai terdengar lagi suara. Juga cahaya yang mendorong membuka mata. Sebutir kedelai itu tentu telah diambil dari telinga. Tinggal rasa lemas yang menggelayuti tubuh yang digendong ke dokar di depan rumah sakit. Mungkin kasihan pada bocah lunglai ini, mereka membelikan sepotong besar paha ayam yang bersih terlahap. Masa itu, tak banyak kesempatan buat menikmati sepotong utuh daging ayam. Ternyata bukan hanya penderitaan yang diberikan sebutir kedelai itu, namun juga kegembiraan.

Waktu menunjukkan bahwa bukan hanya pada bocah kecil itu kedelai memberikan penderitaan dan kegembiraan. Pada seluruh bangsa ini juga. Sangat banyak yang telah mendapat kegembiraan dari kedelai. Hampir seluruh bangsa ini menikmati tempe dan atau tahu sebagai bagian dari menu sehari-hari. Makanan berbahan baku kedelai sanggup memberikan protein pada semua lapisan masyarakat. Bahkan pada mereka yang termiskin sekalipun. Kegembiraan terbesar tentu diperoleh para pebisnisnya. Resto modern yang menawarkan berbagai menu berbasis tahu di daerah Kebayoran Baru, Jakarta, laku keras. Tak sedikit pengusaha tahu dan tempe yang sukses besar. Apalagi importir kedelai. Pedagang 'gorengan' di pinggir jalan pun menikmati gurihnya berjualan makanan dari kedelai.

Kegembiraan yang berlangsung lama itu menutupi kemungkinan lain yang dapat ditimbulkan kedelai: penderitaan. Sampai kemudian sang kemungkinan lain itu datang. Harga kedelai melangit. Semua menjerit. Para ibu rumah tangga, pedagang pasar, pembuat tempe dan tahu, hingga para pedagang ‘gorengan’. Tak ada yang menyangka bahwa makanan sehat yang murah itu menjadi mahal. Rasa penderitaan itu sedemikian menusuk hingga menyentuh hati Istana yang lalu memutuskan untuk me-nol-kan bea masuk kedelai.

Bagi para petani, kedelai membuat derita adalah hal biasa. Terpanggang matahari, mereka mengayunkan cangkul mengolah tanah. Dengan sabar mereka menaburkan butir-butir kedelai, memupuknya, menyiraminya, melindunginya dari hama-penyakit, memangkas dengan batang-batangnya, menjemurnya hingga kering, memukuli tumpukan polong buah agar pecah sehingga butiran kedelai bergulir jatuh, lalu bergatal-gatal memisahkan kedelai itu dari pecahan kulit dan batang. Hasilnya: petani mendapat uang pembelian dari pedagang dengan harga sangat rendah. Katanya, kedelainya tidak semenggiurkan kedelai impor. Petani kedelai sudah terbiasa dengan penderitaan itu.

Mereka tidak mengeluh, apalagi menjerit. Mereka bahkan rela berkorban agar yang lain bergembira dengan kedelai. Mereka tidak memprotes keputusan negara membebaskan impor kedelai sebebas-bebasnya.

Membuat gembira atau menderita hanya satu sisi dari dunia kedelai. Sebutir kedelai juga dapat menunjukkan wajah kita sebagai bangsa. Seberapa besar ketergantungan bangsa kita ini pada asing? Seberapa mampu bangsa ini mewujudkan kesejahteraan bagi semua, termasuk bagi keluarga-keluarga tak mampu, keluarga petani, hingga keluarga pedagang kecil? Seberapa profesional pula kita mengelola negara sehingga semua kebutuhan pokok masyarakat terjamin tanpa gejolak?

Krisis kedelai sekarang menjadi alat pembelajar yang baik bagi kita semua. Pembelajar yang membuat kita lebih peka terhadap keadaan sekitar, dan bukan menjadi tuli hati karena telinga tersumbat oleh kedelai. Dengan begitu, kita akan menjadi bangsa yang hebat, yakni bangsa kedelai. Bukan bangsa keledai yang selalu terperosok ke dalam lubang yang sama. (Zaim Uchrowi )

Jumat, 25 Januari 2008

Tidak ada komentar: