Selasa, 01 Juli 2008

Nilai Bangsa

Di Jimbaran, Bali, malam itu, bukan cuma nyanyian ombak yang terdengar. Bukan cuma kenikmatan ikan bakar yang terasakan. Bukan pula cuma lampu-lampu kecil pengukir bayangan pada wajah-wajah berbagai bangsa yang menyejukkan. Ada hal yang lebih berharga yang saya dapatkan saat itu: pelajaran. Sebuah pelajaran bagaimana suatu masyarakat bertahan dan berkembang.

Lelaki berusia 52 tahun itu tampak antusias berbagi pemahaman. Ia bukan orang Bali. Ia pendatang. Ia mengaku segera terkesima pada Bali begitu menyelami kehidupan masyarakat setempat. "Waktu kecil saya mendapat nilai-nilai agama saat mengaji," ungkapnya. Nilai-nilai yang menurutnya tak banyak dijalankan di lingkungannya di Jakarta. "Di sini (di Bali), di masyarakat yang memeluk keyakinan agama berbeda, nilai-nilai itu justru begitu diresapi."

Masyarakat Bali tak mengenal konsep Tauhid. Namun, keberserahan masyarakat setempat pada Hyang Widi, sang pencipta yang tunggal, jauh melebihi kebanyakan pemeluk ajaran keesaan Allah Sang Khalik. Keberserahan yang diaktualisasikan dalam menjalani hidup sehari-hari. Baik pada diri pribadi maupun dalam bermasyarakat. Nilai-nilai agama yang dipegangnya bukan di tingkat formalitas, melainkan telah meresap ke dalam jiwa menjadi nilai-nilai spiritualitas.

Seorang Bali diajari untuk mengelola penghasilannya menjadi tiga. Sepertiga (sekali lagi hanya sepertiga) untuk konsumsi. Sepertiga untuk tabungan. Sepertiga untuk sosial. Dengan jalan itu, orang-orang Bali secara umum menjadi pribadi yang lebih tangguh secara sosial ekonomi. Sekecil apa pun penghasilan mereka. Mereka secara sungguh-sungguh menjaga keseimbangan tiga hubungan: pada Yang di Atas, pada sesama manusia, juga pada alam. Mereka tak akan semena-mena pada alam karena meyakini bahwa sebagai ciptaan Dewata, alam juga punya jiwa. Bukankah itu konsep hablum minallah, hablum minannas, hablum minal 'alam yang sudah sangat kita kenal?

Kecuali bagi sangat sedikit yang merasa menjadi karma dan dharmanya, orang-orang Bali tak akan menjadikan "tangannya di bawah". Perbuatan yang jelas rendah, tapi banyak tokoh agama kita pun merasa tak bersalah menikmatinya. Orang-orang Bali umumnya juga membaktikan diri buat kepentingan bersama. Nilai-nilai seperti itu dijaga, dipelihara, dan disosialisasikan melalui lembaga-lembaga adat di setiap banjar. "Orang datang ke Bali bukan karena keindahan alam dan pantainya. Alam dan pantai Bali biasa saja. Nilai-nilai budayalah yang menjadi kekuatan Bali." Masyarakat Bali relatif lebih makmur dibanding masyarakat manapun di negeri ini karena lebih teguh berpijak pada nilai-nilainya sendiri.

Di remang malam di Jimbaran pelajaran itu saya dapatkan. Tak ada masyarakat dan bangsa tangguh tanpa berlandaskan nilai-nilai kuat. Thailand, misalnya, sebagai bangsa kini semakin meninggalkan kita dalam kemakmuran karena berpijak pada nilai-nilai budaya yang kokoh. Kerajaan bukan sekadar memuncaki kepemimpinan. Di sana, kerajaan juga mengawal nilai-nilai budaya dalam pemahaman yang dapat disosialisasikan, dalam keteladanan, juga dalam pembiasaan. Nilai-nilai itu terus ditanamkan sejak dini. Antara lain, melalui pengajaran cerita-cerita 'Panji dari Jawa' yang hingga kini masih menjadi pengajaran wajib sekolah di Thailand. Di tanah asalnya, di Jawa, cerita-cerita Panji sudah mati. Apalagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Azyumardi Azra benar saat menyebut 'identitas bangsa' sebagai kunci kebangkitan nasional. Identitas bangsa itu tentu bukan sekadar identitas permukaan, melainkan perwujudan dari nilai-nilai pembangun karakter yang terpegang teguh. Karakter itulah yang melejitkan Cina dan India sekarang. Di sini, pada bangsa kita ini, karakter itu begitu cair. Tanpa bentuk. Nilai-nilai spiritualitas dan budaya telah rusak tertindih pragmatisme pengagung kebendaan. Hanya yang nilai kebendaan serta hal yang dapat diukur yang berharga. Sedangkan nilai-nilai kualitas seolah bukan hal yang berharga, dan serahkan pada masing-masing.

Penindasan nilai-nilai kualitas oleh nilai-nilai kuantitas bahkan terjadi di kalangan yang semestinya menjadi pembimbing masyarakat. Kalangan agama, pendidikan, dan kesehatan misalnya. Agama telah terkerdilkan menjadi sekadar syariah dalam arti hukum. Pendidikan telah menjadi sekadar pengajaran pengetahuan, tanpa 'keteladanan' (modeling) dan 'pembiasaan' (conditioning). Kesehatan menjadi sekadar pengobatan. Padahal, sebenarnya, pengobatan cuma bagian kecil dari kesehatan secara utuh. Penurunan nilai-nilai akibat pemaksaan agar semua dapat terukur menimbulkan akibat panjang. Korupsi, penjarahan alam, penyalahgunaan kekuasaan adalah produk pengagungan nilai-nilai kebendaan dan yang serbaterukur.

Sudah terlalu lama kita mengabaikan nilai-nilai hakiki yang tak terukur seperti keyakinan, ketulusan, keteguhan, keberanian, hingga penghargaan pada sesama. Nilai-nilai spiritualitas dan budaya bangsa ini bukan semakin terbangun, melainkan semakin melemah. Lemahnya nilai-nilai inilah persoalan utama bangsa ini. Jika nilai-nilai itu kuat, masalah dinaikkan atau tidak harga BBM hanya persoalan teknis belaka. Bangsa ini akan tetap menjadi bangsa yang kuat. Sebaliknya, jika nilai-nilai pembangun karakter itu lemah seperti sekarang, hanya nestapa akan menyambut bangsa ini di hari-hari mendatang.

Di Jimbaran, Bali, menjelang seabad Kebangkitan Nasional, saya teringatkan pada hal mendasar ini. (Zaim Uchrowi )

Tidak ada komentar: